spot_img
spot_img
spot_img
BerandaBerita UtamaBuruh Serukan Pembahasan Aturan Turunan UU Cipta Kerja Dihentikan, Gugatan Masih Berlangsung
Senin, Mei 6, 2024

Buruh Serukan Pembahasan Aturan Turunan UU Cipta Kerja Dihentikan, Gugatan Masih Berlangsung

spot_imgspot_img

Kantorberitaburuh.com, JAKARTA – Sejumlah kelompok buruh menolak seluruh Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP), aturan turunan dari Undang Undang Cipta Kerja yang kontroversial, dan menyebutnya sebagai sistem “perbudakan”.

Pakar hukum mengatakan “kepercayaan diri” pemerintah melanjutkan RPP Cipta Kerja di tengah gugatan ke Mahkamah Konstitusi, menguatkan dugaan kebijakan ini sebagai “pesanan”.

Namun, perwakilan pengusaha menolak tudingan tersebut, dan mengatakan aturan dalam RPP sudah cukup adil dan melindungi hak buruh. Pemerintah menegaskan, RPP khusus kluster ketenagakerjaan ini telah selesai dibahas dengan melibatkan pihak buruh dan pengusaha.

Awal pekan ini, Menteri Tenaga Kerja, Ida Fauziyah menyatakan empat Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP), aturan turunan dari Undang Undang No. 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja sudah selesai dibahas.

Keempat RPP UU Cipta Kerja klaster Ketenagakerjaan itu antara lain:

  1. RPP tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing (TKA);
  2. RPP tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, serta Pemutusan Hubungan Kerja;
  3. RPP tentang Pengupahan;
  4. RPP tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan.

“Dan Alhamdulillah, keempat RPP tersebut telah selesai kami bahas dan disepakati bersama-sama antara serikat pekerja/buruh, pengusaha dan pemerintah. Jadi semua pihak telah dilibatkan,” ucapnya dalam situs resmi Kemenaker.

RPP klaster Ketenagakerjaan sudah diserahkan ke Kemenko Bidang Perekonomian untuk diunggah pada portal resmi UU Cipta Kerja. Keempat RPP tersebut juga sudah dilakukan harmonisasi bersama Kementerian/Lembaga terkait sejak pekan lalu.

Selanjutnya, RPP akan disunting untuk menghindari kesalahan-kesalahan kata dan juga rujukan. Lalu, akan serahkan kembali kepada Sekretariat Negara untuk proses penetapan oleh Presiden RI.

“Kami optimis kita bisa menyelesaikan ke empat Rancangan Peraturan Pemerintah ini sesuai dengan jadwal yang ditetapkan,” kata Menaker Ida Fauziyah.

Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menolak terlibat dalam pembahasan seluruh RPP tersebut karena saat ini sejumlah pasal Undang Undang Cipta Kerja sebagai induk RPP masih dalam proses gugatan di Mahkamah Konstitusi.

BACA JUGA  Mengupas Peran KSBSI di Forum G20

Sekjen Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia-KSPI, Riden Hatam Aziz menilai seluruh RPP terkait kluster ketenagakerjaan tersebut sebagai bentuk perbudakan.

“Ya, maknanya pekerja itu tak lebih dari sekedar budak. itulah kenapa kami menolak terhadap UU No. 11 2020 ini, dan kami tidak ikut dalam pembahasan RPP tersebut,” kata Riden kepada BBC News Indonesia, Selasa (02/02).

Selain itu, kata Riden, saat ini uji materi UU Cipta Kerja di MK masih berlangsung, dan belum ada keputusan.

“Artinya bagaimana mungkin, turunannya itu bisa dibahas, sementara pokoknya saja, kami tolak,” katanya. Misalnya, kata dia, terkait dengan kelonggaran pemberian pesangon dalam RPP tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, serta Pemutusan Hubungan Kerja.

Dalam RPP yang diakses 2 Februari 2021 ini disebutkan pesangon kepada buruh tidak lagi dibayar penuh dengan ketentuan terjadi pengambilalihan perusahaan yang mengakibatkan terjadinya perubahan syarat kerja, dan buruh tidak bersedia melanjutkan hubungan kerja (Pasal 41 ayat 2).

Kondisi lainnya adalah pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena alasan perusahaan melakukan efisiensi yang disebabkan perusahaan mengalami kerugian (Pasal 42 ayat 1).

“Kalau UU Ketenagakerjaan No. 13 tahun 2003, kalau perusahaan pailit, masih dapat pesangon, merger masih dapat pesangon, sesuai dengan UU tersebut pasal 56. Nah, sekarang, UU 11/2020 (Cipta Kerja), dengan turunan RPP tadi, pesangon boleh tidak bayar full,” kata Riden.

Selain itu, Riden juga mengomentari perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) yang semula 3 tahun menjadi 5 tahun untuk pengangkatan pekerja tetap (Bab II Pasal 6 ayat 1 dan 2).

Menurutnya, aturan ini bisa membuat pekerja dikontrak berkali-kali, dan tak ada kepastian menjadi pekerja tetap. Riden menganggap hal ini sebagai “statusnya kontrak yang terus-menerus”. “Paling lama artinya bisa 3 bulan, 1 tahun, 2 tahun,” katanya.

BACA JUGA  Catatan 27 Tahun Perjalanan Federasi Serikat Buruh KAMIPARHO KSBSI

Sementara itu, Ketua Umum Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI), Ilhamsyah adalah pihak yang juga tidak ikut dalam pembahasan RPP kluster ketenagakerjaan.

Ia dan kelompoknya mengaku trauma dengan pengalaman kebijakan sebelumnya saat RUU Cipta Kerja masih dalam bentuk draf, akan tetapi sudah disahkan. Tak tahu mana yang asli dan bukan.

Dokumen final UU Cipta Kerja belum bisa diakses publik, meski sudah disahkan sehingga saat itu sejumlah kalangan mengkhawatirkan adanya pasal selundupan yang masuk.

“Menjadi perhatian, mana draf yang asli, mana yang bukan. Atau kalau pun ada yang beredar orang-orang sudah apriori, ini hanya nge-prank lagi, kayak draf UU-nya, maupun UU yang sudah jadi,” katanya.

Namun, Anggota tim perumus Omnimbus Law Undang Undang Cipta Kerja perwakilan Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), Aloysius Budi Santoso membantah tudingan ini.

Kata dia, pesangon tetap dibayarkan, sementara PKWT 5 tahun ditetapkan disertai dengan kompensasi ketika terjadi putus kontrak.

“Dulu kita PKWT memang 2 plus 1 dan seterusnya, diangkat atau tidak dipekerjakan, tapi dulu kita tidak diberikan kewajiban memberikan kompensasi. Sekarang diperpanjang, tapi kami harus memberikan kompensasi. Fair dong,” katanya kepada BBC News Indonesia, Selasa (02/02).

Aloysius menambahkan, kompensasi ini merujuk pada Bab II Pasal 15 RPP yang sama. Di situ disebutkan PKWT selama 12 bulan secara terus menerus, diberikan sebesar 1 bulan upah;

Sementara, PKWT selama 1 bulan atau lebih tetapi kurang dari 12 bulan, dihitung secara proporsional dengan perhitungan masa kerja dikalikan upah 1 bulan dibagi 12; PKWT selama lebih dari 12 bulan, dihitung secara proporsional dengan perhitungan masa kerja dikalikan 1 bulan upah dibagi 12.

Selain itu, Aloysius menambahkan adanya perlindungan terhadap pekerja alih daya (outsourcing) pengalihan perlindungan hak-hak bagi pekerja apabila terjadi pergantian perusahaan alih daya. Ini berdasarkan putusan MK No. No. 27/PUU-IX/2011.

BACA JUGA  Bangun Sinergitas, Kapolda Metro Jaya Ajak Aktivis Serikat Buruh Olah Raga Bersama

“Jadi karyawan outsourcing dapat proteksi yang lebih mantap, karena di dalam UU-nya tertulis bahwa proteksi harus dilakukan,” katanya.

Kepercayaan diri tinggi pemerintah

Sementara itu, pakar hukum dari Universitas Andalas, Feri Amsari menilai penyelesaian pembahasan RPP ini bentuk kepercayaan diri yang tinggi dari pemerintah, karena uji materi UU Cipta Kerja saat ini masih dibahas di MK.

Kepercayaan diri ini menguatkan kesan bahwa UU Cipta Kerja sudah dirancang untuk digolkan sejak awal.

“Jadi maka dugaan UU ada pesanan semakin kuat, karena mereka ingin memastikan bahwa, UU ini secara teknis sudah ada juga aturannya… Mereka terpaksa terburu-buru mengerjakan itu, walaupun ada persidangan MK yang sangat potensial digagalkan, membatalkan seluruh aturan teknis yang dibuat sekarang,” kata Feri kepada BBC News Indonesia, Selasa (02/02).

BBC berusaha untuk mengkonfirmasi hal ini kepada staf khusus Menaker, Dita Indah Sari. Namun, belum mendapat respon. Sementara Menaker Ida Fauziyah sebelumnya menyatakan penyusunan RPP sudah sesuai prosedur dengan melibatkan buruh dan pengusaha.

“Sekali lagi kami tegaskan, penyusunan RUU Cipta Kerja klaster Ketenagakerjaan itu dibahas bersama dalam Forum Tripartit,” kata Menaker Ida di Jakarta.

Omnimbus Law Undang Undang Cipta Kerja akan memiliki aturan teknis dalam bentuk 49 RPP dan 5 rancangan peraturan presiden. Pemerintah menargetkan 7 Februari mendatang seluruhnya sudah rampung.

Sebelum pengesahan, kebijakan Omnimbus Law Cipta Kerja menuai glombang aksi unjuk rasa dari masyarakat sipil, buruh dan mahasiswa di pelbagai wilayah Indonesia.

Pengunjuk rasa khawatir aturan sapu jagat ini akan menimbulkan persoalan mulai dari tenaga kerja, lingkungan, pendidikan, hingga hukum di Indonesia. Sejumlah lembaga mengajukan gugatan uji materi ke MK dan saat ini masih dalam proses persidangan. (*)

Sumber: BBC.com

- Advertisement -spot_imgspot_img
Must Read
Terbaru
- Advertisement -spot_imgspot_img
Baca Juga :