spot_img
spot_img
spot_img
BerandaBerita UtamaHakim Ad Hoc Periode 2006-2016 ini Tegas Tolak Upah Minimum 2022
Sabtu, April 27, 2024

Hakim Ad Hoc Periode 2006-2016 ini Tegas Tolak Upah Minimum 2022

spot_imgspot_img

Kantorberitaburuh.com, PALEMBANG – Hermawan SH, Anggota Dewan Pengupahan Sumatera Selatan dari unsur Serikat Buruh mewakili Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) dengan tegas menolak upah minimum provinsi (UMP) Sumatera Selatan tahun 2022.

Hermawan merupakan Hakim Ad-Hoc Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Palembang Periode 2006-2016. Ia juga menjabat sebagai Ketua DPC FSB NIKEUBA Palembang.

Penolakan itu dilakukan Hermawan dalam rapat Dewan Pengupahan Provinsi Sumatera Selatan pada Tanggal 15 November 2021 lalu.

“Silahkan kalau mau dibuatkan berita acara pun rekomendasi apa yang kami sampaikan dalam rapat ini, mohon dituangkan nanti secara jelas dan lengkap. Pertama bahwa kami tetap menolak penggunaan PP 36, dengan dasar kami tadi bahwa UU Cipta Kerja itu masih dalam gugatan formil dan materiil serta tidak mencerminkan kehidupan layak bagi pekerja buruh,” kata Hermawan dalam rapat Dewan Pengupahan yang dikutip Kantor Berita Buruh dari Channel Youtube “Sahabat PHI”, Senin (22/11/2021).

“Kedua, bahwa data yang akan dipakai dalam penghitungan berdasarkan PP 36 itu, yang dari surat edaran Kementerian, bagi kami itu tidak merefleksikan kondisi sebenarnya dari pada pekerja/buruh. Karena data tersebut tren-nya berbeda dengan data-data sebelumnya,” jelasnya.

Kemudian yang Ketiga, kata Hermawan, data dari surat edaran, menurutnya tidak reflektif karena didapatkan dari data penduduk secara umum dan bukan didapatkan dari data pekerja atau buruh secara khusus.

“Sehingga bagi kami itu tentunya bukan lagi tidak refleksi tapi sudah menyalahi kondisi riil yang sebenarnya,” tandasnya.

Ia pun mengupas Pasal 88 UU Cipta Kerja yang membuat soal formula penghitungan upah. Menurutnya pada pasal itu tidak disebutkan penjelasan soal batas atas dan batas bawah.

BACA JUGA  Foto: Diam Berarti Tenggelam

“Jadi di pasal 88d itu sudah jelas Bu, formula penghitungan upah sebagaimana dimaksud pada ayat 1 memuat variable pertumbuhan ekonomi atau inflasi. Jadi tidak ada penjelasan di undang-undang itu akan ada batas atas, akan ada batas bawah. Jadi formulanya didasarkan pada pertumbuhan ekonomi dan inflasi.” terang dia.

“Sebagaimana pemahaman kawan-kawan dulunya itu bukan lagi.. ‘dan’ sehingga.. (timbul pertanyaan) ini inflasi atau pertumbuhan ekonomi? Nah jadi kami disini karena ini juga ada, di pasal 88 UU Cipta Kerja ini, ya kami menawarkan, kalau memang kita bermusyawarah, putuskan saja kenaikan itu sesuai dengan maksimal pertumbuhan ekonomi atau inflasi, yang mana yang tinggi.” urainya.

“Itu kami menawarkan, karena dasarnya apa? Pasal 88D ayat 2 UU Cipta Kerja. Nah itu dasar kami, Bu. Jadi formulasinya ibu tanya tadi bagaimana, ya sebagaimana kita menghitung selama ini, berapa maksimal pertumbuhan ekonomi atau inflasi yang akan kita ajukan dikalikan sekian persen baru kenaikan,” tandasnya.

“Mungkin lima persen, tiga persen atau empat persen sesuai dengan data yang ada. Kan ada data yang dari BPS? Itu pengajuan kami untuk bermusyawarah dengan dasar hukum kami itu, Bu. Alasan kami menolak tadi sebagaimana yang kami sampaikan tiga variable tadi.” tandasnya.

Tiga variable yang dimaksud Hermawan adalah, UU Cipta Kerja yang masih di uji di MK, kemudian data BPS yang tidak merefleksikan kondisi riil buruh yang sebenarnya, kemudian data survei tersebut hanya memuat survei penduduk bukan kepada buruh secara langsung.

BACA JUGA  Pelanggaran Konstitusi Berdampak Buruk terhadap Kesejahteraan Rakyat

“Dan yang paling penting Bu, ini yang perlu dijawab juga maksud kami, Saya tidak tau kebenaran datanya. Yang saya lihat di BPS itu trennya sepuluh tahun terakhir dikisaran empat. Kok sekarang tiga koma tujuh enam,” gusarnya.

Ia menegaskan, tidak menduga atau menuduh soal tren dalam 10 tahun terakhir data refleksi BPS yang berubah menjadi lebih kecil.

“Jadi kami tidak menduga, tidak menuduh. Loh ini kok kayaknya refleksinya kok dikecilkan, seolah-olah. Kalau empat kan pengalinya kan agak lebih besar Bu.. sehingga bisa naik mungkin upah kami. Apakah data anggota rumah tangga yang bekerja itu juga ternyata berbeda juga Bu? Saya cari-cari belum ada datanya. Mungkin saya nanti akan minta ke BPS untuk refrensi kami juga menjelaskan ke Kawan-kawan,” tandasnya.

Berita Acara

Dalam rapat itu, dihasilkan sejumlah pendapat, baik dari perwakilan buruh, pengusaha maupun pemerintah yang dimuat dalam ‘Berita acara Rapat Dewan Pengupahan Provinsi Sumatera Selatan’, sebagaimana dikutip dari Channel Youtube Sahabat PHI, antara lain sebagai berikut:

Pendapat dari Unsur Serikat Pekerja/Serikat Buruh

Menyatakan tidak menandatangani Berita Acara Rapat Dewan Pengupahan Provinsi Sumatera Selatan dalam memberikan usulan/rekomendasi nilai Upah Minimum Provinsi (UMP) Sumatera Selatan Tahun 2022 kepada Gubernur Sumatera Selatan, dengan alasan sebagai berikut:

  1. Menolak penggunaan formula Upah Minimum berdasarkan PP No 36 tahun 2021;
  2. UU Cipta Kerja masih dalam proses uji formil dan materiil di Mahkamah Konstitusi;
  3. Upah Minimum seharusnya berdasarkan atas penghidupan yang layak bagi kemanusiaan;
  4. Menolak data yang digunakan dalam formula PP Nomor 36 Tahun 2021 tersebut karena tidak merefleksikan kondisi/keadaan buruh dan pekerja yang sebenarnya karena data tersebut didapatkan dari survei penduduk secara umum bukan survei secara khusus yang dilakukan kepada pekerja atau buruh.
BACA JUGA  Sejarah Besar Pemberontakan Buruh Tambang Batu Bara Sawahlunto 1927

Pendapat dari Unsur APINDO

Penghitungan penyesuaian Upah Minimum Tahun 2022 mengikuti formula sesuai yang diatur pada PP No 36 Tahun 2021

Pendapat dari unsur Pemerintah

penghitungan penyesuaian Upah Minimum Tahun 2022 mengikuti formula sesuai yang diatur pada PP No 36 Tahun 2021

Rekomendasi

Sebagaimana diatur pada PP No.36 Tahun 2021 Pasal 26 ayat (2) “Penyesuaian upah minimum ditetapkan pada rentang nilai tertentu di antara batas atas dan batas bawah upah minimum pada wilayah yang bersangkutan”. Pasal 27 ayat (4) “Dalam hal upah minimum provinsi tahun berjalan lebih tinggi dari batas atas upah minimum provinsi maka Gubernur wajib menetapkan upah minimum provinsi tahun berikutnya sama dengan nilai upah minimum provinsi tahun berjalan”, Pasal 4 ayat (3) “Pemerintah daerah dalam melaksanakan kebijakan pengupahan wajib berpedoman pada kebijakan pemerintah pusat”.

“Upah Minimum Provinsi Sumatera Selatan Tahun 2021 sebesar Rp 3.144.446 lebih tinggi dari Batas Atas upah minimum sebesar Rp 2.944.635,94, dengan demikian UMP provinsi Selatan Tahun 2022 sama dengan nilai UMP Sumatera Selatan Tahun 2021 yaitu sebesar Rp 3.144.446,” demikian petikan berita acara hasil rapat Dewan Pengupahan Sumatera Selatan.

Untuk lebih jelasnya bisa disimak di Channel Youtube “Sahabat PHI”

[REDHUGE/KBB]

- Advertisement -spot_imgspot_img
Must Read
Terbaru
- Advertisement -spot_imgspot_img
Baca Juga :