spot_img
spot_img
spot_img
BerandaBerita UtamaSejarah Besar Pemberontakan Buruh Tambang Batu Bara Sawahlunto 1927
Sabtu, Mei 4, 2024

Sejarah Besar Pemberontakan Buruh Tambang Batu Bara Sawahlunto 1927

spot_imgspot_img

“Walaupun berakhir dengan kegagalan, namun pemberontakan itu membawa dampak terhadap kehidupan buruh selanjutnya. Secara samar terlihat adanya suatu kesadaran baru dari buruh tambang yang selam ini terkotak-kotak antara buruk paksa, buruh kontrak dan buruh bebas.”

Kantorberitaburuh.com, JAKARTA – Sejatinya, Nagari Minangkabau sejak zaman VOC hingga Hindia Belanda sudah mulai dijadikan tambang emas. Tambang Emas itu berada di pesisir selatan. Untuk mengembangkan sayap perekonomian kolonial, tahun 1868 para peneliti masa itu menemukan kekayaan batu bara di Sawahlunto.

Bentang alamnya yang indah dan masih dipegang oleh kalangan adat (ulayat), membuat pemerintah koloni harus melakukan pembebasan dan ganti rugi–yang sebenarnya cenderung merugikan kaum adat secara tidak sadar.

Yang terkenal adalah tambang batu bara Ombilin yang baru dibuka 1892. Zaiyardam Zubir dalam buku Pertempuran nan Tak Kunjung Usai: Eksploitasi Buruh Tambang Ombilin oleh Kolonial Belanda 1891-1921, pengajar Jurusan Sejarah Universitas Andalas Padang, mengungkap tambang itu sebenarnya memberi keuntungan penduduk sekitar berupa keterbukaan akses dan ekonomi pedalaman.

Tetapi masyarakat Minangkabau yang dekat dengan pertambangan kebanyakan enggan untuk menjadi buruh tambang. Biasanya yang menjadi buruh tambang adalah orang Minangkabau yang berasal dari jauh pertambangan, atau orang luar nagari seperti Pulau Jawa.

“Mereka (penduduk Minangkabau sekitar tambang) hanya mau bekerja dalam waktu tertentu saja, seperti masa ketika mereka tidak turun ke sawah,” terang Zubir. “Bagi penduduk Minangkabau, pilihan bekerja sebagai buruh tambang batu bara hanya dijadikan sebagai pekerjaan sambilan saja.”

BACA JUGA  Sritex Tepis Isu Liar Skandal Bansos

Tak heran bila sekitar Sawahlunto kini memiliki nama bernuansa Jawa, seperti Sukosari, Sidomulyo, dan Cebongan. Kawasan yang disebutkan itu sempat menjadi perkampungan buruh kontrak dari Jawa, dan ternyata mereka saling memiliki hubungan keluarga. Buruh kontrak juga ada yang didatangkan dari Tiongkok.

Aktivitas buruh tambang batu bara Ombilin pada 1971. Foto: Tropenmuseum.

Tambang itu membuat penduduk pendatang banyak berdatangan. Karena memiliki hubungan dengan Departmen van Justitie (Departemen Kehaikman), perekrutan buruh kebanyakan adalah tenaga paksa, yakni adalah orang-orang yang diganjar hukuman di peradilan, dengan rentang usia 18-40 tahun.

Zubir merangkum setiap tahunnya ada 2.000 hingga lebih dari 3.000 orang pernah menjadi buruh tambang batu bara Ombilin selama 37 tahun beroperasi. Mereka bekerja dari menarik batu bara, mengirimkan lewat kereta, hingga distribusi ke kota-kota besar seperti Padang.

Ketika ada pelanggaran kerja, mandor maupun pimpinan buruh tak segan-segan menjatuhkan hukuman pada para buruh. Hukuman itu mulai dari pukulan, tendangan, hingga digantung terbalik. Kondisi itu tergambar dalam surat kabar Soeara Tambang edisi April 1925:

“Beratoes-ratoes banjaknya orang hokoeman (tahanan yang menjadi buruh paksa) jang berpoeloeh tahun, beriboe djoemlahnja koeli contrak, sekalian mereka itoe sama mendapat hadiah poekoelan, anoegrah tendangan, karena me’loemlah pembatja, bahwa tambang ini kepoenjaan pemerintah.

Maki-makian soedah ditjoeba, kerdja berat telah ditanggoeng[,] berat dan ringan soedah dirasai[.] ta’ dapat mengatakan sakit, ta’ boleh mengatakan berat kerdja.”

BACA JUGA  Gerakan Buruh dan Revolusi Kemerdekaan Indonesia

Hidup sebagai buruh tambang sangat berat. Mereka tidak mendapatkan kesejahteraan seperti upah yang kerap bermasalah, tidak adanya jaminan sosial dan kesehatan. Tak sedikit dari mereka yang harus dirawat dan meninggal karena sakit.

Masalah ini kebanyakan dirasakan oleh para pekerja tambang kelas rendah, sedangkan golongan atas seperti orang Eropa, Indo, dan pribumi terpelajar tidak mengalaminya, bahkan makmur mendapatkan tunjangan dan upah yang layak.

Semenjak munculnya gejolak politik pada 1920-an, pengaruh dari luar mulai masuk ke pertambangan seperti kesadaran hak buruh yang dibawa PKI. Organisasi lain yang sangat berpengaruh di tambang batu bara Ombilin adalah Serikat Islam, dan Serikat Rakjat, yang turut membuat masalah buruh dibahas di Volksraad.

Barak tinggal para buruh tambang batu bara Ombilin di Sawahlunto, Sumatera Barat, semasa Hindia Belanda. (Foto: C. Nieuwenhuis/Leiden University).

“Kehadiran PKI dan Serikat Rakyat di tengah-tengah kaum buruh membawa harapan bagi buruh tambang bahwa partai-partai itulah yang akan mengubah nasib mereka,” terang Zubir dalam buku.

“Harapan buruh itu beralasan karena selama bekerja sebagai buruh (terutama yang berasal dari buruh paksa), mereka tidak memiliki kekuatan yang dapat memperjuangkan nasib dari pihak perusahaan atau pemilik modal.”

Datuk Batuah, seorang penghulu adat Minangkabau dan tokoh komunis menjadikan dominasi kekuasaan Belanda harus dilawan. Ia merekrut banyak buruh kasar di tambang batu bara Ombilin, dan kerap melakukan propaganda melawan pemerintah kolonial di nagari Minangkabau.

April 1925, buruh Ombilin membuat organisasi bernama Persatoean Kaoem Boeroeh Tambang (PKBT). Dalam waktu singkat, jumlahnya bertambah pesat. Melansir Soeara Tambang Januari 1926, ada sekitar empat ribu buruh tambang yang bergabung.

BACA JUGA  Dikenalkan Prabowo Di Rapimnas, GPBI Resmi jadi Sayap Gerindra?

1 Januari 1927, buruh tambang batu bara Ombilin terlibat dalam pemberontakan komunis di Silungkang. Pemberontakan ini dimotori oleh PKI dan Serikat Rakjat, dan perencanaan dilakukan oleh PKBT. Akibatnya saat meletus Januari, banyak rakyat dan buruh tambang dibunuh dan ditangkap oleh aparat akibat rencana yang kurang matang. Pemberontakan ini sebenarnya strategi para buruh untuk mendapatkan kesejahteraan itu.

Perusahaan yang mencium gerakan ini juga sempat memasang perangkap, agar buruh yang diduga komunis dan pemberontak, akan mendapatkan hukuman mulai dari cambuk dalam sel hingga pemecatan.

Para buruh yang dibunuh aparat akibat terlibat pemberontakan malam tahun baru 1927 di berbagai kota Sumatera Barat. (Foto: Tropenmuseum)

Gerakan tetap berlangsung dan menjalar di kota-kota besar Sumatera barat. Tokoh-tokoh yang dikenal dalam pemberontakan itu adalah jusuf Rajo Kecil, Talaha Gelar Rajo Sampono, dan Toyib Ongah. Meski demikian, gerakan itu langsung dipadamkan oleh pasukan morsose Belanda, dan kembali kondusif satu minggu setelahnya.

“Walaupun berakhir dengan kegagalan, namun pemberontakan itu membawa dampak terhadap kehidupan buruh selanjutnya,” Zubur berpendapat. “Secara samar terlihat adanya suatu kesadaran baru dari buruh tambang yang selam ini terkotak-kotak antara buruk paksa, buruh kontrak dan buruh bebas.”

“Kesadaran akan senasib menumbuhkan kesadaran untuk bersatu melawan Belanda, seperti dalam pemberontakan malam tahun baru 1927 itu.” [Sumber: Nationalgeographic.co.id]

- Advertisement -spot_imgspot_img
Must Read
Terbaru
- Advertisement -spot_imgspot_img
Baca Juga :