spot_img
spot_img
spot_img
BerandaBerita UtamaKSBSI juga Uji Ciker Bertentangan dengan Filosofi Pancasila
Sabtu, April 27, 2024

KSBSI juga Uji Ciker Bertentangan dengan Filosofi Pancasila

spot_imgspot_img

Kantorberitaburuh.com, JAKARTA – Dalam sidang lanjutan gugatan judicial review UU Cipta Kerja dengan agenda perbaikan permohonan, Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) mempersoalkan 54 pasal yang merugikan buruh. selain perbaikan dalam jumlah pasal yang dipersoalkan untuk diuji majelis Hakim MK, KSBSI juga menambahkan 10 alat bukti tambahan.

Sebelumnya, Ketua Tim Kuasa Hukum KSBSI, Harris Manalu mengatakan ada 3 hal yang diperbaiki dalam permohonan KSBSI. Pertama tentang surat kuasa, Kedua tentang permohonan Judicial review, dan Ketiga tentang alat bukti.”

Ia pun memulai pada perbaikan pertama. “Sesuai nasehat yang mulia pak Wahiduddin Adams. sebelumnya, Ibu Elly Rosita Silaban dan Bapak Dedi Hardianto, masing-masing selaku Presiden dan Sekjen KSBSI telah kami perbaiki menjadi badan hukum atau organisasi bernama Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia sebagai Pemberi Kuasa,” kata Harris Manalu yang dikutip Kantor Berita Buruh dari channel resmi MK, Senin (19/4/2021).

Ia menerangkan, Pemohon memperbaiki permohonan yang semula tercantum sebagai Pemohon I dan Pemohon II, telah diubah menjadi nama organisasi yaitu nama pemohon diubah menjadi KSBSI.

Hal itu merujuk bahwa nama Elly Rosita Silaban dan Dedi Hardianto merupakan legal mandatori atau wakil dari pada organisasi, sehingga dipandang perlu untuk merubah nama pemohon menjadi (hanya) nama organisasi (KSBSI).

Ketua Tim Kuasa Hukum KSBSI Harris Manalu SH, Mantan Hakim Adhoc pada Pengadilan Hubungan Industrial. (Foto: Youtube MK)

54 Pasal yang dipersoalkan

Perbaikan kedua, Harris mengatakan, juga sesuai nasehat Anggota majelis Hakim MK, Wahiduddin Adams, KSBSI mencantumkan seluruh pasal-pasal yang dipersoalkan dalam pengujian ini.

“Sebanyak 54 pasal atau setidak-tidaknya 27 pasal dalam undang-undang Cipta Kerja ini,” terang Harris.

“Yang Mulia, (kami) masuk ke perbaikan permohonan, yang pertama perbaikan di perihal. Sesuai nasehat Yang Mulia Pak Wahiduddin Adams, dari 25 pasal yang kami cantumkan dalam perihal.. halaman satu.. perbaikan permohonan ini maupun permohonan terdahulu.. dalam perihal, kami telah mencantumkan 54 pasal. Dan dengan menulis mencantumkan kalimat ‘atau setidak-tidaknya 27 pasal’. Itu yang diperihal,” katanya.

“Kemudian, sesuai nasehat dari Yang Mulia Pak Suhartoyo, Pak Daniel, pak Wahiduddin, dalam permohonan terdahulu, pada halaman satu dan dua, kami sebut Ibu Elly Rosita Silaban sebagai Pemohon Satu dan Pak Dedi Hardianto sebagai Pemohon Dua. Dalam perbaikan permohonan ini pada halaman satu dan halaman dua kami perbaiki menjadi hanya Pemohon. Tidak ada lagi title Pemohon Satu dan Pemohon Dua. Dalam perbaikan ini pemohon adalah KSBSI sebagai badan hukum atau organisasi,” terang Harris.

Ia melanjutkan, kemudian dalam permohonan tentang kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK) di halaman dua dan tiga pada perbaikan ini.

BACA JUGA  Percuma Membungkam Jurnalis

“Sesuai nasehat Hakim Daniel, perubahan UU nomor 24 tahun 2003 tentang MK telah kami cukupkan (dan) telah kami tambahkan dengan perubahan kedua terakhir yaitu UU No 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga UU MK.” terangnya.

Rugikan Hak Konstitusional

Pada perbaikan tentang kedudukan hukum atau legal standing pemohon, Ketua Tim Kuasa Hukum KSBSI Harris Manalu SH mengatakan, sesuai dengan nasehat hakim Suhartoyo dan Wahiduddin Adams, pada halaman empat dan lima angka enam dan angka tujuh, kerugian konstitusional pemohon telah lebih diperinci lagi. Sebagai berikut:

pertama kerugian hak kesamaan kedudukan dan perlakuan yang sama dihadapan hukum dan pemerintahan sebagaimana diatur dalam pasal 27 ayat 1 dan pasal 28 b ayat 1 UUD 1945.

Berikutnya yaitu kerugian hak memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosial sebagaimana diatur dalam pasal 28 f UUD 1945.

Berikutnya kerugian hak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pikiran pendapat sebagaimana diatur dalam pasal 28 UUD 1945 dan pasal 28 b ayat 3 UUD 1945.

“Demikian juga kerugian hak untuk memperjuangkan hak secara kolektif sebagaimana diatur dalam pasal 28 c ayat 2 UUD 1945.” kata Harris.

Kemudian kerugian hak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak bagi kemanusiaan dalam hubungan kerja sebagaimana diatur dalam pasal 27 ayat 2 UUD 1945 dan pasal 28 d ayat 2 UUD 1945.

Kerugian berikutnya adalah hak atas pengakuan jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang adil sebagaimana diatur dalam pasal 28 d ayat 1 UUD 1945.

Kemudian hak atas rasa aman dari ancaman dan ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu sebagaimana diatur dalam pasal 28 b ayat 1 UUD 1945.

Kemudian kerugian hak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif sebagaimana diatur dalam pasal 28 d ayat 2 UUD 1945.

Kemudian kerugian hak mempunyai hak milik pribadi dan hak tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun sebagaimana diatur dalam pasal 28 h ayat 4 UUD 1945.

“Dan dengan berlakunya UU Cipta Kerja ini, baik langsung maupun tidak langsung merugikan hak konstitusional anggota pemohon, yaitu para pekerja/buruh dan serikat pekerja, serikat buruh yang diatur dalam UUD 1945, antara lain pengurangan upah, penghapusan lama kontrak atau hubungan kerja dalam pola perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) perluasan alih daya atau outsourching, pengurangan pesangon, ketakutan pekerja buruh menjadi anggota dan atau menjadi pengurus serikat buruh/serikat buruh dan atau menjalankan kegiatan serikat pekerja/serikat buruh,” terang Harris.

BACA JUGA  Puluhan Buruh Gugat PHI PT Kejar, DPP FSB NIKEUBA: Kita Suport Seribu Persen

Uji Formil

“Kemudian Yang Mulia, kami masuk ke perbaikan alasan pengujian formil. Pertama sesuai nasehat Pak Daniel, pada halaman sembilan angka lima belas perbaikan permohonan ini kami telah memperbaiki atau menambahkan UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana yang telah diubah dalam UU No 15 tahun 2019,” kata Harris.

Kemudian juga perbaikan berikutnya sesuai nasehat hakim Wahiduddin Adams dalam halaman 9 dan 10 angka 13, angka 15, angka 16, angka 17 dan angka 19, “Perbaikan permohonan ini kami telah memperbaiki atau menambahkan ketentuan-ketentuan yang dijumpai atau tidak dipenuhi dalam proses pembentukan UU Cipta Kerja, yaitu, pertama pasal 2 ayat 1 konvesi ILO nomor 144 tahun 1976 tentang konsultasi tripartit.” terang dia.

“Kemudian yang kami simpangi adalah UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana beberapa kali perubahannya.” tandas Harris.

Kemudian pasal 22 a UUD 1945 yang menyatakan, ketentuan lebih lanjut tentang tata cara pembentukan UU diatur dengan UU yaitu UU No 12 Tahun 2011 berikut dengan perubahan-perubahannya.

Harris mengatakan KSBSI juga menghapus kata-kata atau kalimat yang dianggap tidak perlu. Selanjutnya Harris Manalu menyerahkan penjelasan perbaikan permohonan kepada rekan Kuasa Hukum lainnya, yakni kepada Parulian Sianturi SH.

Bertentangan dengan Filosofi Pancasila

Selanjutnya, disarikan dari penjelasan Parulian dalam persidangan, Pemohon juga menambahkan ketentuan-ketentuan yang disimpangi atau tidak dipenuhi dalam proses pembentukan UU Cipta Kerja.

Pemohon melalui tim kuasa hukumnya melakukan pengujian formil Bab IV UU Cipta Kerja dan pengujian materiil Bab IV Bagian Kedua UU Cipta Kerja, yakni Pasal 42 ayat (3) huruf c yang menyebutkan “Tenaga kerja asing yang dibutuhkan oleh pemberi kerja pada jenis kegiatan produksi yang terhenti karena keadaan darurat, vokasi, perusahaan rintisan berbasis teknologi, kunjungan bisnis, dan penelitian untuk jangka waktu tertentu.”

Juga Pasal 57 ayat (1) perjanjian kerja untuk waktu tertentu dibuat secara tertulis serta harus menggunakan bahasa Indonesia dan huruf Latin. Pasal 57 ayat (2), berbunyi “Dalam hal perjanjian kerja waktu tertentu dibuat dalam bahasa Indonesia dan bahasa asing, apabila kemudian terdapat perbedaan penafsiran antara keduanya, yang berlaku perjanjian kerja waktu tertentu yang dibuat dalam bahasa Indonesia”.

Kemudian Pasal 59 ayat (1) berbunyi “Perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu sebagai berikut: a. pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya; b. pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama; c. pekerjaan yang bersifat musiman; d. pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan; atau e. pekerjaan yang jenis dan sifat atau kegiatannya bersifat tidak tetap.

BACA JUGA  Taukah Kamu, Ada 8 Jalan Rezeki yang Allah Siapkan, Ada dalam Al Qur’an

Menurut para Pemohon, muatan materi Bagian Kedua Bab IV UU Cipta Kerja bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2), Pasal 28, Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28G ayat (1), Pasal 28H ayat (4), Pasal 28I ayat (2), Pasal 33 ayat (1) UUD 1945, karena mengurangi, mendegradasi hak-hak asasi pekerja dan serikat pekerja dari yang sudah diatur dalam UU No. 13/2003, serta bertentangan dengan filosofi Pancasila, serta secara sosiologis muatan materinya tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat pekerja/buruh, dan menimbulkan kekosongan hukum di bidang hubungan industrial.

“Selain itu, materi muatan tersebut bertentangan dengan asas pembentukan peraturan perundang-undangan, hak asasi manusia dan sejumlah instrumen hukum internasional seperti Konvensi ILO dan DUHAM,” papar pemohon.

40 alat Bukti, 39 disahkan, 1 menyusul

Di samping perbaikan permohonan yang telah disebutkan tadi, Pemohon juga melakukan perbaikan alat bukti dengan menambahkan 10 bukti. Sebelumnya KSBSI telah menyertakan 30 alat bukti. Sehingga total alat bukti yang diserahkan KSBSI berjumlah 40 alat bukti.

Namun dari 40 alat bukti, Ketua Majelis Hakim MK Suhartoyo baru mengesahkan 39 alat bukti dari P-1 sampai P-39, sedangkan bukti P-40 menyusul kemudian.

“Ada lagi yang mau disampaikan lagi Pak?” tanya Hakim Suhartoyo kepada Kuasa Hukum KSBSI, yang dijawab Harris Manalu “Cukup, Yang Mulia,”.

“Baik kalau begitu, para Kuasa Hukum, selanjutnya kami dari panel, ini hanya mengakomodir hal-hal yang disampaikan oleh Kuasa Hukum dan prinsipal. Untuk selanjutnya putusan ada pada Mahkamah Konstitusi dengan Hakim yang akan memutuskan secara pleno dengan sembilan Hakim.” kata dia.

“Bagaimana nanti perkembangan perkara ini, tentunya akan diputuskan dalam rapat pemusatan Hakim dan secepatnya nanti Ibu Bapak sekalian akan diberitahukan oleh kepaniteraan untuk perkembangan perkara ini” tandas Ketua Majelis Hakim MK, Suhartoyo. (*/REDKBB)

- Advertisement -spot_imgspot_img
Must Read
Terbaru
- Advertisement -spot_imgspot_img
Baca Juga :