spot_img
spot_img
spot_img
BerandaBerita UtamaBATUBARA : Hujan Uang, Banjir Airmata
Kamis, Mei 2, 2024

BATUBARA : Hujan Uang, Banjir Airmata

spot_imgspot_img

Penulis: Yustinus Sapto Hardjanto (Kesah.id)

JAUH SEBELUM Jaman internet, rujukan informasi kami anak-anak di masa itu adalah buku Himpunan Pengetahuan Umum. Buku itu memuat berbagai informasi yang bisa membuat kami serasa pintar karena tahu pulau mana yang terbesar dan terkecil, sungai terlebar, sungai terpanjang, laut terdalam dan lain sebagainya.

Salah satu yang masih saya ingat dari buku itu adalah Bagansiapiapi yang merupakan penghasil ikan terbesar dan Sawahlunto yang adalah penghasil batubara.

Entah seperti apa Bagansiapiapi sekarang, masihkah ada banyak bagan dan pohon api api? Pasti tidak lagi.

Statusnya sebagai daerah penghasil ikan pasti sudah pupus.

Pun demikian Sawahlunto yang dikenal dengan tambang Ombilin. Tambang yang membuatnya dijuluki sebagai kota arang.

Di awal tahun 2000-an, menipisnya cadangan batubara membuat kota ini dijuluki sebagai kota mati. Redupnya tambang batubara membuat penduduknya hanya tersisa 20 persen.

Karena mempunyai banyak gedung yang dibangun pada jaman kolonial Belanda dan situs tambang bawah tanah, Sawahlunto kemudian banting setir dari Kota Tambang menjadi Kota Wisata Heritage.

-000

Akhir pertambangan batubara di Sawahlunto menjadi awal merebaknya tambang batubara di Kalimantan.

Kalimantan yang dikenal dalam buku HPU sebagai pulau hutan dengan berbagai tumbuhan dan satwa endemik serta sungai yang panjang dan lebar, sejak awal tahun 2000-an termashyur sebagai pulau hirang.

BACA JUGA  Malapetaka Abu Emas Hitam, Petani Banten Dikepung Polusi PLTU Suralaya

Saya yang kemudian tinggal di Samarinda, Kalimantan Timur tak perlu membaca HPU atau browsing di internet untuk mengkonfirmasi julukan itu.

Di Samarinda yang adalah Ibukota Provinsi Kaltim, jejak dan aktifitas tambang batubara dengan mudah bisa dilihat saat ini.

Samarinda menjadi kota istimewa batubara. Sebab Samarinda mungkin merupakan satu-satunya Ibu Kota Provinsi di Indonesia yang merelakan lahannya ditambang secara terbuka.

Maka tak mengherankan jika kemudian Jaringan Advokasi Tambang atau JATAM kerap menyebut Samarinda sebagai Ibukota Pertambangan Dunia.

Ada banyak rumah besar seperti istana di Kota Samarinda. Yang empunya kebanyakan punya hubungan dengan batubara.

Apakah mereka pengusaha batubara?. Belum tentu, bisa jadi mereka beroleh kekayaan karena penguasaan lahan yang besar.

Tanda-tanda kekayaan lain yang berhubungan dengan batubara bisa juga dilihat di jalanan. Seliweran mobil bermerek mahal mudah ditemui di jalanan.

Di topang pusaran uang batubara, Kota Samarinda juga menjadi pusat dari 1001 organisasi masyarakat.

Hotel dan tempat hiburan malam (entertaint industry) bergairah serta ramai juga karena batubara.

Dari sisi ekonomi tak bisa disangkal bahwa batubara menjadi salah satu mesin penggerak.

BACA JUGA  Tekad Mbah Min Tetap Berjuang Tuntut Hak di PT Livia Mandiri Sejati

Namun disisi lain beban lingkungan yang ditimbulkan oleh aktivitas pertambangan batubara menjadi semakin tak tertahankan.

Dan beban atau dampak lingkungan akibat pertambangan batubara tidak hanya berasal dari Kota Samarinda melainkan juga dari daerah tetangga yaitu Kutai Kartanegara.

Salah satu dampak yang paling kentara adalah sedimentasi yang ekstrim pada sungai dan anak-anak sungai di Kota Samarinda.

Bukaan lahan akibat pertambangan batubara menyebabkan erosi. Karakter tanah di Kota Samarinda yang terbentuk karena sedimentasi sangat rawan erosi apabila tidak ditutupi oleh vegetasi.

Tanpa tutupan vegetasi tanah di Samarinda juga sulit untuk menyerap air hujan. Selain itu tanahnya juga cepat jenuh saat menyerap sehingga genangan mudah terjadi..

Sedimentasi yang ekstrim akhirnya mendangkalkan dan menyempitkan alir sungai.

Dan air hujan yang tak tertahankan karena bukaan lahan dengan cepat akan meluncur ke sungai..Daya tampung sungai yang sudah jauh berkurang dengan segera membuat sungai akan meluap. Banjir terjadi dimana-mana.

Meski banjir bukan sesuatu yang asing bagi Kota Samarinda, namun banjir pada masa kini berbeda jauh dengan banjir yang terjadi 20 atau 30 tahun yang lalu.

-000-

Soal batubara, Kalimantan khususnya dan Indonesia umumnya bukanlah pemilik cadangan terbesar di dunia.

Cadangan batubara terbesar justru dimiliki oleh Amerika Serikat sebanyak 23,7 persen, Rusia 15,2 persen, Australia 14 persen, China 13,2 persen dan India 9,6 persen.

BACA JUGA  Teater Politik Vaksin Nusantara

Hanya saja dengan cadangan nomor 6, ternyata Indonesia menjadi yang paling rajin memgeksport batubara. Umumnya batubara justru di eksport ke China yang punya hasil batubara lebih besar dari Indonesia.

Dengan kecenderungan dunia secara umum untuk beralih menuju penggunaan energi bersih, masa depan batubara sebagai sumber energi sebenarnya buram.

Peralihan itu secara gradual akan mengurangi kebutuhan batubara.

Terus rajin menambang batubara sebagai sumber energi yang kotor, Indonesia lupa membangun kompetensi dan infrastruktur untuk menghasilkan energi bersih.

Negeri dengan kelimpahan sumberdaya terbarukan ini terus mengkonsumsi sumberdaya berbasis fosil sebagai bahan bakar utama untuk membangkitkan energi.

Ekonomi ekstraktif dan rente dalam tata kelola energi berbasis fosil memang mendatangkan banjir uang untuk segelintir atau sekelompok orang dengan ‘kekuasaan’ dan ‘penguasaan’ nya masing masing.

Watak yang entah disadari atau tidak, mulai menghadirkan banjir air mata lewat berbagai bencana karena ketidakseimbangan ekologis di negeri nusa antara ini. (*)

*Sumber publish: Kesah.id
*Sumber Foto: Antara Foto/Bayu Pratama S.

- Advertisement -spot_imgspot_img
Must Read
Terbaru
- Advertisement -spot_imgspot_img
Baca Juga :