spot_img
spot_img
spot_img
BerandaBerita UtamaRoda Hidup Si Anak Siantar, Rekson Silaban
Jumat, Mei 3, 2024

Roda Hidup Si Anak Siantar, Rekson Silaban

spot_imgspot_img

Meski sempat dipandang sebelah mata, pilihannya sebagai aktivis buruh akhirnya berbuah manis. Ia bertemu dengan para pemimpin dunia, menjadi wakil presiden wadah konfederasi buruh internasional (ITUC) dan pengurus eksekutif organisasi buruh sedunia (ILO). Di kancah nasional, pria yang sudah mengelilingi semua benua di dunia pada umur 33 tahun, menjadi Ketua Majelis Pertimbangan Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (MPO-KSBSI) dan (Eks) Komisaris PT Jamsostek.

Kantorberitaburuh.com – Di awal tahun 90-an, pergerakan buruh sedang memanas di Indonesia. Di tengah-tengah gelora pergerakan itu, seorang pria Batak bernama Rekson Silaban sedang bergumul tentang pilihan hidupnya. Batinnya selalu gelisah tentang bagaimana caranya agar ia bisa berguna bagi banyak orang.

Awalnya, pria kelahiran Pematang Siantar, 8 Mei 1966 ini berniat menjadi aktivis lingkungan hidup. Namun melihat begitu besarnya diskriminasi terhadap buruh saat itu, Rekson memilih menjadi aktivis yang memperjuangkan kepentingan buruh.

“Saya dulunya awal-awalnya kepikiran di lingkungan hidup. Tapi momen yang tersedia di masa itu, buruh. Jadi saya di situ. Saya mau punya arti bagi orang banyak,” katanya saat diwawancarai TokohIndonesia.com 3 April 2012 lalu.

Pada masa pemerintahan Orde Baru, organisasi buruh bernama SPSI (Serikat Pekerja Seluruh Indonesia) mulai diragukan independensinya karena dianggap sudah menjadi alat untuk kepentingan penguasa. Oleh sebab itu, bermunculanlah beberapa organisasi buruh independen dengan idealismenya masing-masing. Pemerintah saat itu tetap pada keputusannya dan menolak mengakui organisasi buruh di luar SPSI.

Rekson sudah menyadari sejak awal bahwa pilihannya itu akan menuai protes dari orang dekatnya. Namun, di sisi lain, nasib buruh masih sangat memprihatinkan sehingga ia tidak bisa lari dari kenyataan. Ia merasa sudah menjadi milik semua orang, bukan hanya milik keluarganya.

Rekson kemudian merapat ke barisan Muchtar Pakpahan yang saat itu membentuk SBSI (Serikat Buruh Sejahtera Indonesia) sebagai tandingan dari SPSI. Ia masuk dalam Departemen Riset SBSI, 1992-2000 dan Departemen Internasional SBSI, 1994-2000. Selama bergabung di SBSI, Rekson sering berurusan dengan aparat keamanan, keluar masuk penjara walaupun tidak pernah sampai ke meja pengadilan.

Tekanan yang begitu kuat di zaman Orde Baru membuat aksi demonstrasi dengan turun ke jalan tidak bisa dilakukan. Oleh sebab itu, Rekson mengganti alat perjuangannya dengan banyak menulis dan membaca. Ia gencar menulis opini di berbagai media dengan mengambil spesialisasi hubungan industrial dan internasional, standar perburuhan, pengupahan dan jaminan sosial.

BACA JUGA  Pemuda Asal Tuban Jadi Jutawan Berkat Budidaya Jangkrik Alam

Dua buku soal perburuhan juga sudah lahir dari tangannya yakni Reposition Labor Movement In Indonesia (2010) dan Unity or Burried by History (2011). Rekson juga banyak menghabiskan waktunya untuk menggalang solidaritas internasional agar pemerintah peka dan peduli dengan seruan kaum buruh.

Terhitung sejak tahun 2000, kiprah sarjana ekonomi jebolan Universitas Simalungun, Sumatera Utara dan Master dari International Labor Standard, Belgium, 2007 ini sebagai aktivis buruh makin bersinar dengan menjadi Ketua DPP SBSI 2000-2007, Ketua Umum Konfederasi SBSI 2003-2007, Presiden Dewan Ekesekutif Nasional-KSBSI 2007-2011, dan Ketua Majelis Pertimbangan KSBSI 2011-2014.

Sedangkan di dunia internasional, Rekson mengukir prestasi membanggakan. Selain bertemu dan berdialog dengan para pemimpin dunia, ia pernah menjadi wakil presiden wadah konfederasi buruh internasional (ITUC – International Trade Union Conference) yang bermarkas di Brussel periode 2007-2011. Posisi tersebut membanggakan bagi serikat buruh indonesia setelah selama 40 tahun absen dalam lembaga itu.

Rekson juga menjadi dewan eksekutif ITUC di Asia Pasifik (2007-2015) yang berbasis di Singapura dan menjadi delegasi buruh Indonesia menghadiri sidang tahunan ILO (International Labor Oganization) di Genewa sekaligus menjadi pengurus eksekutif ILO (2005-2014). Ia menjadi putra Indonesia kedua dari Indonesia, setelah Agus Sudono, Ketua Serikat Buruh pada masa Orde Lama yang juga pernah menjadi pengurus ILO.

Milik Semua Orang

Rekson Silaban menghabiskan masa kanak-kanak dan remajanya di Pematang Siantar, Sumatera Utara. Anak ketiga dari tujuh bersaudara ini sempat beberapa kali pindah sekolah mengikuti tugas ayahnya yang berprofesi sebagai PNS. Selama bersekolah hingga tingkat SMA, Rekson sudah merasa terpanggil untuk berbuat sesuatu bagi banyak orang. Kegelisahannya itu terus berlanjut saat ia berkuliah di Universitas Simalungun, Sumatera Utara.

“Kalau dulu saya ikut gerakan mahasiswa di Siantar, itu ‘kan hanya untuk kotamadya, artinya saya hanya (berarti) untuk beberapa orang,” ujarnya.

BACA JUGA  Jaring Calon Jurnalis, Media KSBSI Gelar Workshop Media

Itulah sebabnya, setamat kuliah, Rekson tidak buru-buru melamar pekerjaan. Sebagai pribadi yang ingin bebas mengekspresikan diri, Rekson yang pernah menjadi buruh bangunan ini tidak ingin terjebak dalam rutinitas orang kantoran. Ia ingin berbuat yang lebih besar dan menjadi bagian dari sejarah.

“Sebagai pegawai baru, kita akan terjebak dengan situasi, kalau di perusahaan juga begitu,” kata anak Simen, akronim dari anak Siantar Men, panggilan akrab bagi anak perantau dari Pematang Siantar.

Tatkala gerakan demonstrasi buruh marak di tahun 90-an, Rekson melihat sebuah kesempatan untuk berbuat lebih banyak. Dalam perantauannya di Jakarta, Rekson bergabung dengan organisasi buruh independen bernama SBSI (Serikat Buruh Sejahtera Indonesia). Keterlibatannya dalam organisasi tersebut membuat dia sering berurusan dengan aparat keamanan.

Akibatnya, orang tua Rekson menganggap pilihannya sebagai seorang aktivis adalah pilihan yang tidak jelas. Sebab orang tuanya berharap, Rekson yang sudah menyandang gelar sarjana bisa mendulang sukses di perantauan sehingga bisa membantu orang tua.

“Mana baktimu sebagai anak. Lihat si Anu itu, kemarin dari Batam mengirim televisi,” kata Rekson mengenang ucapan orangtuanya.

“Dulu, halanganlah kita (bagi keluarga). Sudah dibiayai sarjana, ditangkap militer, masuk koran lagi dan di black list segala macam. Padahal orang-orang sudah sukses dan mengirim uang ke kampung dan ke adek-adek,” ujar Rekson lagi.

Rekson sudah menyadari sejak awal bahwa pilihannya itu akan menuai protes dari orang dekatnya. Namun, di sisi lain, nasib buruh masih sangat memprihatinkan sehingga ia tidak bisa lari dari kenyataan. Ia merasa sudah menjadi milik semua orang, bukan hanya milik keluarganya.

Keputusan Rekson itu memang menuntut banyak pengorbanan termasuk dalam hal percintaan dan hidup berkeluarga. Kisah cintanya beberapa kali kandas di tengah jalan karena ia lebih memilih memegang prinsipnya sebagai seorang aktivis. Kesibukannya pun akhirnya membuat ia terlambat berkeluarga.

Ia membutuhkan waktu empat tahun untuk mendapatkan istri setelah rezim Soeharto jatuh pada tahun 1998.

“Tidak kawin sebelum Soeharto jatuh, jadi cewek-cewek kita tidak setuju dengan komitmen itu,” kata Rekson bercanda.

BACA JUGA  Bentrok di Perbatasan Kembali Terjadi, India-China Memanas

Baginya, memilih istri harus memahami dirinya sebagai aktivis. “Harus cocok dengan karakter kita untuk jangka panjang karena dia akan menjadi teman kita sampai puluhan tahun,” ujarnya.

Rekson kemudian menemukan belahan jiwanya, gadis Manado bernama Merdi Rumintjap. Rekson menikahinya di tahun 2002 lalu dikaruniai dua anak, Luigi Ignacio Silaban dan Morgan Garcia Silaban.

Kegigihan Rekson untuk berbuat lebih banyak bagi orang lain dan gaya hidup yang ingin terus belajar membuat Rekson siap saat kesempatan-kesempatan berharga itu datang. Sejak muda, Rekson sudah gemar membaca termasuk membaca buku-buku berbahasa Inggris. Sembari membaca, ia belajar bahasa Inggris secara otodidak. Sehingga tatkala ia mendapat kesempatan berbicara di forum internasional, ia siap dan tidak canggung lagi. Begitu pula saat ia melayani wawancara dari jurnalis asing seperti CNN, BBC London, Herald Tribune dan sebagainya.

“Saya percaya diri untuk berbicara di forum mana pun. Saya berbicara dengan siapapun, saya berbicara di Bank Dunia, IMF, berdebat,” katanya.

Begitu pula saat ia ditunjuk sebagai delegasi dari Asia Tenggara untuk duduk sebagai anggota ILO yang sebelumnya hanya didominasi Filipina.

Kesiapannya dalam penguasaan bahasa Inggris menjadi modal untuk mengalahkan kandidat dari negara-negara Asean lainnya. Begitu pula saat ia mendapat kesempatan untuk menjadi salah satu komisaris di PT Jamsostek yang diisi orang-orang dari lulusan perguruan tinggi ternama.

Menurutnya, filsafat diam adalah emas tidak selamanya tepat. Untuk dapat diterima secara global, kita harus aktif. Ia mencontohkan pengalamannya saat memenangkan pertarungan mewakili ILO Asean untuk bertugas di markas ILO di Genewa. Pada saat itu, Rekson dengan lantang memperkenalkan diri di dalam forum pemilihan.

Rekson juga menyadari bahwa keberhasilan seseorang tidak lepas dari orang-orang di sekitarnya. Berbuat baik akan melahirkan hal-hal yang baik. “Kalau banyak mengecewakan orang, tingkat keberhasilan lebih kecil. Karena berada dalam zona negatif. Keberhasilan itu tidak datang tiba-tiba. Setiap orang telah diberikan talenta untuk dikembangkan,” katanya di akhir wawancara. (*)

Sumber Publish: tokoh.id

- Advertisement -spot_imgspot_img
Must Read
Terbaru
- Advertisement -spot_imgspot_img
Baca Juga :