spot_img
spot_img
spot_img
BerandaBerita UtamaMewaspadai Degradasi Gerakan Buruh
Rabu, Mei 1, 2024

Mewaspadai Degradasi Gerakan Buruh

spot_imgspot_img

Oleh: Andreas Hutagalung, (*)

REKSON SILABAN, Aktivis intelektual serikat buruh pernah mengatakan saat memberikan kata sambutan Kongres ke VII Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI). Dia menyampaikan, ada 2 gerakan sosial di dunia yang sudah teruji dalam sejarah. Pertama mahasiswa, kedua serikat buruh. Nah, 2 kelompok ini masih disegani diberbagai negara. Mereka tetap kritis, memiliki ideologi, mampu melakukan aksi perlawanan terhadap penguasa jika ada kebijakan tidak memihak.

Gerakan serikat buruh sudah ada dan berkembang sejak zaman kolonial Belanda sampai di era industri 4.0. Bahkan, pergerakannya mengalami pasang surut. Buktinya, dimasa rezim Presiden Soeharto, suara kritis serta kekebasan serikat buruh dibungkam. Seperti Marsinah aktivis buruh perempuan yang bekerja di PT. Catur Putra Surya Porong, Sidoarjo, Jawa Timur. Semasa hidupnya, ia dikenal sosok kritis membela buruh. Ironisnya, dimasa Pemerintahan diktator Orde Baru nyawanya dihilangkan. Dia diculik dan ditemukan terbunuh pada 8 Mei 1993.

(Alm) Muchtar Pakpahan tokoh dan pendiri Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) juga ikut korban politik. Ia dijebloskan ke penjara pada 1994, akibat terlalu kritis. Serta dituduh dalang kerusuhan demo buruh di kota Medan dan Siantar Sumatera Utara. Pada 1996, Muchtar kembali di penjara di LP Cipinang Jakarta Timur. Karena membuat karya disertasi buku ‘Potret Negara Indonesia’.

Dalam bukunya, Muchtar menyimpulkan kebijakan pembangunan dimasa Orde Baru telah gagal, sehingga diperlukan reformasi. Syukurlah, kekuasaan Soeharto yang dibangunnya selama 32 tahun akhirnya lengser. Pada Mei 1998 terjadi reformasi, ia di demo mahasiswa dan rakyat Indonesia. Karena krisis moneter berkepanjangan dan dituduh membuat birokrasi Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN).

BACA JUGA  Wamenaker: Pemerintah Berikan Apresiasi Atas Peran Kamiparho Ciptakan Hubungan industrial yang kondusif

Momen reformasi tentu penting bagi buruh menuntut kebebasan berserikat dan hak demokrasi. Tanpa lagi ada intimidasi. Akhirnya, saat pemerintahan transisi Presiden BJ Habibie, lalu dilanjutkan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) permintaan ini dikabulkan dalam bentuk bentuk undang-undang. Saat ini buruh sudah menikmati demokrasi, bebas menyampaikan aspirasi, termasuk kebebasan berserikat tidak separah dimasa lalu.

Nah, apakah jaminan kebebasan ini membuat serikat buruh kuat? Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2018, merilis, minat pekerja masuk serikat buruh menurun. BPS mengungkapkan persentase Union Density Rate (UDR) di Indonesia berkurang disemua sektor perusahaan. Tepatnya, UDR yang disampaikan pada 2018 hanya sebesar 13,2 persen. Berkurang dibandingkan pada 2017, sebesar 14,54 persen. Kesimpulannya dari 100 orang pekerja, hanya 13 orang yang mau bergabung ke serikat buruh.

Posisi Tawar Lemah

Data penurunan ini menjadi ‘peringatan’ dan evaluasi. Sebab, persoalan internal serikat buruh hari ini adalah soal konflik organisasi. Lalu terjadi perpecahan dan kemudian lahir serikat buruh baru. Namun persoalannya, kehadiran serikat baru ini justru tidak menambah kwantitas, yang ada setiap tahun justru menyusut. Seperti apapun alasannya, jika basis massa buruh berkurang, dipastikan posisi tawarnya dalam hubungan industrial akan berkurang dihadapan pemerintah dan pengusaha.

Minimnya pendidikan dan pengkaderan juga masih menjadi persoalan klasik. Kalau pun ada, belum begitu signifikan dalam menciptakan regenerasi kepemimpinan. Jadi, mau tidak mau tongkat estafet kepemimpinan wajib dijalankan. Berikan kepercayaan kepada kaum muda. Karena mereka memiliki energi, gagasan, strategi dan mampu membangkitkan solidaritas buruh. Penulis masih ingat apa yang pernah disampaikan sastrawan Indonesia (Alm) Pramoedya Ananta Toer.

BACA JUGA  Terlibat di Pertemuan G20, KSBSI Siapkan 4 Poin Rekomendasi

Pramoedya mengatakan “Jangan pernah meremehkan orang muda. Mereka sedang membuat sejarah’. Jika kaum muda tidak diberi kepercayaan pasti mereka tidak punya arah gerakan. Sehingga, kedepannya serikat buruh tetap ada, tapi roh gerakannya mati suri. Kaum muda itu kunci perubahan. Jadi bekali mereka pengkaderan berkualitas dan integritas kuat. Sehingga nantinya mampu menyelesaikan tantangan perburuhan pasca disahkannya Undang-Undang Cipta Kerja. Maupun membaca perkembangan zaman, baik dunia hukum, politik, ekonomi, teknologi.

Begitu juga, dunia sudah memasuki abad perkembangan teknologi digitalisasi, robotisasi dan otomatisasi. Sehingga, disatu sisi membawa dampak jutaan buruh di Indonesia bakal kehilangan pekerjaan. Akibat peran manusia digantikan teknologi. Argumentasi ini diperkuat hasil riset pada 2018 dari International Labour Organization (ILO). Dimana memprediksi 10-20 tahun kedepan, sekitar 56 persen pekerja diseluruh dunia bakal kehilangan pekerjaan serta digantikan pekerjaan baru.

Serikat buruh harus mengantisipasi ancaman ini untuk memberikan edukasi. Agar pekerja mampu beradaptasi dan meningkatkan keahliannya di dunia kerja, berbasiskan teknologi 4.0. Mari kita lihat laporan Bank Dunia pada 2018, terkait hasil riset Indeks Sumber Daya Manusia (Human Capital Index/HCI). Bank Dunia membeberkan peringkat HCI Indonesia masih diurutan 87 dari 157 negara. Nilai HCI negara kita hanya 0,53 persen, masih tertinggal dari beberapa negara dikawasan Asia Tenggara.

BACA JUGA  KSBSI Beberkan Terbitnya Perppu Cipta Kerja Tak Penuhi Syarat Formil

Artinya, kemampuan Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia dalam keahlian dan pengetahun masih lemah. Persoalan ini ancaman di era persaingan globalisasi. Apalagi, Indonesia digaungkan sedang memasuki ‘Bonus Demografi 2030’ serta diprediksi salah satu negara perekonomian terkuat di Asia Pasifik. Namun pertanyaannya, apakah nantinya daya saing angkatan muda kerja kita mampu bersaing dengan Tenaga Kerja Asing (TKA) yang masuk ke negara ini? Serikat buruh tak boleh diam. Harus terus mendorong pemerintah meningkatkan SDM. Khususnya pada generasi milenial.

Kultur gerakan buruh itu kental politik. Tapi faktanya, posisi tawarnya masih terbilang lemah. Serikat buruh secara keseluruhan belum bisa menyatukan konsolidasi dalam merumuskan kekuatan politik, baik di tingkat nasional dan daerah. Termasuk melakukan pendidikan politik pun terbilang minim. Justru masih banyak terjebak konflik internal, perpecahan organisasi dan agenda politik masing-masing.

Hasil data Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) mencatat, jumlah anggota serikat pekerja dan serikat buruh pada 2017 hanya sekitar 2,7 juta orang. Jumlah ini turun signifikan sebanyak 3,4 juta orang dari tahun 2007.

Kalau basis massa buruh kian menyusut, dipastikan posisi tawar politiknya lemah. Sekarang ini Partai Buruh kembali dideklarasikan. Apakah partai ini bisa merebut simpati atau menjadi rumah aspirasi buruh di Pemilu 2024? Entahlah, kita lihat saja. (*)

*Penulis adalah Jurnalis, Departemen Media dan Aktivis Buruh di Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI)

- Advertisement -spot_imgspot_img
Must Read
Terbaru
- Advertisement -spot_imgspot_img
Baca Juga :