spot_img
spot_img
spot_img
BerandaBerita UtamaKesejahteraan Buruh, Harapan yang Kian Hari Dibuat Kian Rapuh
Jumat, Mei 3, 2024

Kesejahteraan Buruh, Harapan yang Kian Hari Dibuat Kian Rapuh

spot_imgspot_img

Oleh: Tajuk Rencana-Pikiran Rakyat, (*)

SALAH SATU HAK BURUH untuk memperjuangkan nasibnya adalah mogok, terutama jika negosiasi atau musyawarah tidak memberikan hasil yang diharapkan.

Bentuk perlawanan seperti itu diharapkan efektif, terutama jika menghadapi aturan yang dianggap merugikan.

Di Indonesia, sesuai konstitusi yang berasaskan musyawarah mufakat, mestinya aksi mogok bukan menjadi pilihan utama. Namun, negosiasi antara buruh dengan perusahaan, meski dimediasi pemerintah, sering menemui jalan buntu.

Biasanya buruh merasa kecewa. Kepentingan perusahaan dengan kepentingan buruh sering bersimpang arah.

Sejak awal, perkembangan industri menimbulkan kerawanan sehingga dampak sosialnya sangat besar. Setelah mesin menggantikan tenaga manusia, tantangannya bertambah berat.

Efisiensi menjadi salah satu pilihan utama untuk menghasilkan laba. Karena pertimbangan itu, tenaga manusia lebih sering tersisihkan.

Di negara-negara tempat keahlian serta keterampilan manusia masih rendah, hubungan perburuhan menjadi persoalan yang tidak mudah dipecahkan. Dilema seperti itu masih berlangsung di negara kita

Indonesia memiliki tenaga kerja yang melimpah. Sayangnya, masih belum dibekali keahlian mumpuni.

BACA JUGA  Perundingan Berjalan Mulus, PK FSB Nikeuba dan PK FSB Kamiparho PT Swadaya Indopalma Teken PKB

Upaya pemerintah menyediakan fasilitas serta pelatihan agar tenaga kerja memiliki keahlian yang sesuai dengan kebutuhan kerja masih belum optimal.

Mereka yang masuk kategori buruh kasar masih merupakan mayoritas, temasuk tenaga kerja yang dikirim untuk bekerja di negara lain.

Belakangan, Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 Tentang Pengupahan menjadi persoalan, khususnya berkaitan dengan kenaikan upah yang tidak mengikuti kenaikan inflasi.

Buruh merasa beban hidupnya akan bertambah berat. Selain pemenuhan kebutuhan sehari-hari, biaya untuk menyekolahkan anak semakin krusial.

Buruh juga mempertanyakan keabsahannya, karena PP tersebut menekankan pada produktivitas kerja. Padahal menurut UUD 1945, tekanannya adalah kehidupan yang layak.

Pengertian hidup layak berpotensi problematis, terutama jika berkaitan dengan sejumlah komponen yang menjadi penunjangnya. Jika komponennya bertambah, dengan sendirinya upah mesti lebih besar.

Persoalannya juga sering dilematis. Untuk menarik investor misalnya, salah satu daya tariknya, standar upah murah.

Jika upah buruh dianggap terlalu tinggi, investor tidak akan tertarik. Malangnya, ketentuan upah minimun juga menjadi urusan pemerintah daerah setempat.

BACA JUGA  Potret, Training Paralegal KSBSI Riau

Sering terjadi pengusaha memilih hengkang dari satu daerah dan berpindah ke daerah lain yang upah minimumnya lebih rendah.

Menghadapi kenyataan seperti itu, posisi buruh semakin terpojok. Kehilangan lapangan kerja merupakan ancaman menakutkan.

Pemutusan hubungan kerja juga akan mementahkan perencanaan masa depan. Ancaman seperti itu bukan sebatas dirasakan buruh kasar, melainkan juga oleh mereka yang memiliki keahlian spesifik, karena lapangan kerjanya terbilang terbatas. Padahal, keahlian di bidangnya terbilang mumpuni.

Besaran pesangon, yang bagi umumnya buruh merupakan perjuangan yang melelahkan, juga belum tentu bisa diandalkan sebagai jaminan.

Karena sengketa urusan besar kecilnya upah buruh masih sering terjadi, mestinya berbagai pihak, terutama buruh, pengusaha, dan pemerintah, lebih sungguh-sungguh berupaya menemukan kesepakatan yang lebih langgeng. Jangan lagi terulang seolah menjadi acara tahunan.

Upaya pencegahan mesti jadi pilihan utama. Dalam jangka panjang kebiasaan seperti itu tidak mustahil akan menimbulkan dampak lebih buruk.

Jika keadaan dibiarkan seperti itu, masalah ledakan demografi, yang diperkirakan akan kita alami tidak lama lagi, lebih merupakan ancaman ketimbang peluang.

BACA JUGA  Respon Sekjen KSBSI atas Pernyataan Gubernur Banten: Offside itu Gubernur!

Tenaga kerja yang melimpah belum tentu akan dapat ditampung tersedianya lapangan kerja. Industri modern yang cenderung memanfaatkan kecanggihan teknologi, antara lain dengan memanfaatkan robot, dipastikan hanya akan membutuhkan tenaga kerja manusia yang terbatas.

Konsekuensinya, tenaga kerja yang tidak dimanfaatkan akan menimbulkan beban sosial yang pelik.

Bagi buruh, meningkatkan keahlian menjadi pilihan yang mesti ditempuh. Keahlianlah yang akan meningkatkan daya tawar buruh terhadap majikan.

Hal itu erat kaitannya dengan IPM (indeks pemangunan manusia). IPM yang rendah akan menurunkan daya tawar.

Lapangan kerja yang diciptakan juga sebaiknya jangan terlalu mengandalkan investor. Negosiasi sejauh ini terkesan berpihak kepada tuntutan pemilik modal.

Menurut kaidah usaha, upah buruh yang rendah belum tentu sejalan dengan meningkatnya produktivitas.

Sebaliknya, besaran upah menjadi relatif jika produktivitasnya sejalan dengan perkembangan usaha itu sendiri. (*)

*Sumber Publish: Pikiranrakyat.com

- Advertisement -spot_imgspot_img
Must Read
Terbaru
- Advertisement -spot_imgspot_img
Baca Juga :