spot_img
spot_img
spot_img
BerandaBerita UtamaHukuman Buat Saksi Palsu di Persidangan
Jumat, Mei 3, 2024

Hukuman Buat Saksi Palsu di Persidangan

spot_imgspot_img

Oleh: Arthur Noija SH, (*)

ANCAMAN PIDANA Bagi Saksi yang Memberikan Keterangan Palsu. Gerai Hukum Art & Rekan berpendapat bahwa,keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu.

Memberikan keterangan palsu saat menjadi saksi di persidangan dapat diancam dengan sanksi pidana yang diatur dalam Pasal 242 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) khususnya ayat 1 dan 2 tentang memberi keterangan di atas sumpah atau yang biasa disebut delik Sumpah Palsu/Keterangan Palsu:

Ayat 1:
Barangsiapa dalam keadaan di mana undang-undang menentukan supaya memberi keterangan di atas sumpah atau mengadakan akibat hukum kepada keterangan yang demikian, dengan sengaja memberi keterangan palsu di atas sumpah, baik dengan lisan ataupun tulisan, secara pribadi maupun oleh kuasanya yang khusus ditunjuk untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.

BACA JUGA  Buruh Bukan Budak

Ayat 2:
Jika keterangan palsu di atas sumpah diberikan dalam perkara pidana dan merugikan terdakwa atau tersangka yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.

R Soesilo, dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 183) menjelaskan bahwa supaya dapat dihukum unsur-unsur ini harus dipenuhi:

a. Keterangan itu harus di atas sumpah.
b. Keterangan itu harus diwajibkan menurut undang-undang atau menurut peraturan yang menentukan akibat hukum pada keterangan itu.
c. Keterangan itu harus palsu (tidak benar) dan kepalsuan ini diketahui oleh pemberi keterangan.

R.Soesilo juga menambahkan bahwa supaya dapat dihukum pembuat harus mengetahui bahwa ia memberikan suatu keterangan dengan sadar bertentangan dengan kenyataan dan bahwa ia memberikan keterangan palsu ini di atas sumpah.

Jika pembuat menyangka bahwa keterangannya itu sesuai dengan kebenaran, akan tetapi akhirnya keterangan ini tidak benar, dengan lain perkataan, jika ternyata ia tidak mengenal sesungguhnya mana yang benar, maka ia tidak dapat dihukum.

BACA JUGA  Soal Relokasi Kawasan JIEP, Ketua DPC FKUI Jakbar Ingatkan Pemerintah: Pikirkan Nasib Buruh!

Menyembunyikan kebenaran itu belum berarti suatu keterangan palsu.

Suatu keterangan palsu itu menyatakan keadaan lain dari pada keadaan yang sebenarnya dengan dikehendaki (disengaja). Sebelum saksi tersebut dituntut melakukan tindak pidana memberikan keterangan palsu, hakim memperingatkan saksi terlebih dahulu.

Pasal 174 KUHAP menyatakan bahwa apabila keterangan saksi di sidang disangka palsu, hakim ketua sidang memperingatkan dengan sungguh-sungguh kepadanya supaya memberikan keterangan yang sebenarnya dan mengemukakan ancaman pidana yang dapat dikenakan kepadanya apabila ia tetap memberikan keterangan palsu. Apabila saksi tetap pada keterangannya itu, hakim ketua sidang karena jabatannya atau atas permintaan penuntut umum atau terdakwa dapat memberi perintah supaya saksi itu ditahan untuk selanjutnya dituntut perkara dengan dakwaan sumpah palsu.

Keterangan Palsu Juga Dikenal dalam UU Tindak Pidana Korupsi

Sekedar tambahan informasi, persoalan saksi memberi keterangan palsu di persidangan juga dikenal dalam perkara korupsi, seperti diatur Pasal 22 jo. Pasal 35 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (“UU Pemberantasan Tipikor”) sebagaimana yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 (“UU 20/2001”).

BACA JUGA  Grey Area Antara Tipikor dengan Tindak Pidana Perbankan

Ancaman sanksi pidana bagi setiap orang yang dengan sengaja tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan atau denda paling sedikit Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah). (*)

Dasar hukum:
1.Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
2.Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana;
3.Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.

Referensi:
R. Soesilo. 1991. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Politeia: Bogor. (*)

*Penulis adalah Pimpinan Gerai Hukum Arthur & Rekan

- Advertisement -spot_imgspot_img
Must Read
Terbaru
- Advertisement -spot_imgspot_img
Baca Juga :