spot_img
spot_img
spot_img
BerandaInternasionalAsia PasifikDerita Buruh Sawit Indonesia di Malaysia saat Masa Pandemi
Minggu, Mei 5, 2024

Derita Buruh Sawit Indonesia di Malaysia saat Masa Pandemi

spot_imgspot_img

Kantorberitaburuh.com, JAKARTA –  Malaysia masih menjadi tujuan eksotis bagi tenaga kerja Indonesia, khususnya di Industri Sawit di Sabah, Malaysia. Mereka bekerja menjadi buruh Sawit.

Namun apa yang diungkap Koalisi Buruh Migran Berdaulat (KBMB) yang dipublish di situs Mongabay.co.id, sungguh memprihatinkan. Banyak diantara mereka berakhir di penjara atau terpaksa menjadi “buronan” petugas imigrasi Malaysia dengan sembunyi-sembunyi di perkebunan.

Bukan karena mereka ilegal, tetapi situasi pandemi Covid yang memaksa kantor imigrasi setempat tutup, dan dokumen buruh pun menjadi kadaluarsa. Buruh pun ditangkap.

Jurnalis Mongabay, Yogi Eka Sahputra mengulas tuntas data KBMB dalam artikel ‘Derita Buruh Sawit Indonesia di Negeri Jiran pada Masa Pandemi” sebagai berikut:

  • Para pekerja Indonesia di perkebunan sawit di Sabah, Malaysia, mengalami kondisi menyedihkan, terlebih di masa pandemi COVID-19 ini. Petugas Imigrasi lebih giat merazia pekerja imigran tak berdokumen, hingga kalau malam hari mereka harus bersembunyi di kebun sawit. Mereka tidur di pondok-pondok seadanya di ‘kampung betapok.’
  • Sebagian pekerja alami izin kerja habis dan tak bisa memperpanjang karena kantor-kantor Imigrasi tutup. Ketika dokumen mereka kadaluarsa, petugas pun akan menangkap mereka, dan memasukkan penjara Imograsi, kerawanan terkena COVID-19 pun muncul di sini.
  • Data KBMB, jumlah pekerja migran 1 juta pekerja. Dari jumlah pekerja itu, 90% merupakan buruh migran Indonesia, mayoritas dari Sulawesi dan Nusa Tenggara Timur (NTT). Kemudian dari Sulu, Filipina.
  • Abu Mufakhir, anggota KBMB mengatakan, sejak Januari, analisis lapangan Koalisi Buruh Migran Berdaulat (KBMB)menemukan, 12.000 buruh migran ditangkap sampai Oktober 2020. Sepanjang 2020, sekitar 7.673 tahanan imigrasi dideportasi. Sisanya, 5.204 orang berada di berbagai pusat tahanan sementara (PTS).

Defri bersama istri dan anaknya harus bergegas bersembunyi ke pondok-pondok di tengah ‘hutan’ sawit Morotai, Malaysia. Mereka harus lakukan rutin setiap malam hari, setelah selesai bekerja di perkebunan sawit. Tidak hanya dia, ratusan pekerja migran lain sama, dalam bahasa para buruh disebut bertapok atau bersembunyi.

Para pekerja migran asal Indonesia ini mendapatkan pemberitahuan dari manajer perusahaan sawit kalau imigrasi akan masuk ke kebun-kebun untuk razia dokumen. Razia gencar di masa pandemi COVID-19 ini.

Para buruh terpaksa tidur di pondok-pondok kayu sederhana di dalam kebun sawit. Kebanyakan pondok ini tak berdinding, hanya atap seadanya. Kalau hujan turun, mereka akan kebasahan dan kedinginan.

Pekerja memilih tidur di pondok-pondok dalam ‘hutan’ sawit dibandingkan di rumah bedengan yang disediakan perusahaan karena petugas imigrasi akan mudah menangkap mereka.

“Manajer suruh orang disini bertapok, ada imigresen (imigrasi) mau masuk. Jadi kami pergi bertapo,” kata Defri, buruh di Morotai, Malaysia.

Tak hanya orang dewasa, buruh juga membawa anak-anak mereka ke pondok-pondok ini. “Banyak nyamuk, semut api, kasian anak-anak kami,” kata buruh lain mengeluh.

BACA JUGA  Gojek dan Nadiem Makariem Digugat Rp24 Triliun, Soal Apa?

Mereka bilang yang bersembunyi dalam kebun sawit tak sedikit, sampai ribuan orang. Bahkan, anak-anak mereka sering sakit seperti batuk dan flu setelah bersembunyi. “Itulah, macam budak-budak itu balik tapok lalu batuk dan pilek,” kata buruh lain yang tak mau namanya disebutkan.

Suyono, bukan nama sebenarnya, mengatakan, izin kerja habis beberapa waktu lalu. Ketika hendak diperpanjang kantor imigrasi tutup karena pandemi COVID-19.

“Bagaimana kami mau mengurus (izin) sekarang, kantor-kantor pun ditutup,” katanya saat diwawancara melalui sambungan telepon oleh tim pencari fakta dari Koalisi Buruh Migran Berdaulat (KBMB).

Koalisi ini adalah gerakan masyarakat sipil yang peduli dengan isu pemenuhan dan perlindungan hak-hak buruh migran Indonesia.

Satu aksi KBMB adalah melaporkan kondisi buruh sawit Indonesia di Malaysia. Berawal dari laporan pekerja, KBMB melakukan penelusuran dan mendapatkan cerita dari beberapa buruh di Sabah, Malaysia pada Agustus 2021. Temuan ini disampaikan dalam konferensi pers virtual akhir Agustus lalu. Sekaligus dengan rilis petisi online.

Thomas, buruh migran di perkebunan sawit di Sabah mengaku terus disuruh bekerja siang hari, tetapi malam haris bersembunyi dari razia dokumen imigrasi.

Begitu juga dikatakan Ergusem, buruh migran lain. Dia bilang, Menurut razia buruh ini akan menciptakan klaster COVID-19 baru di Sabah. Pasalnya, terjadi kerumunan di penampungan penjara Malaysia.

“Ini tidak masuk akal, kita disuruh jaga jarak, tetapi ditangkap dan dimasukkan ke penjara yang tidak ada jaga jarak sama sekali,” katanya.

Sampai saat ini para buruh kebingungan. Ketika pertama kali masuk ke negara Malaysia untuk bekerja di perusahaan sawit mereka membawa dokumen lengkap. Ketika hendak diperpanjang, kantor pemerintahan setempat tutup. Akhirnya, mereka dianggap pekerja tanpa dokumen atau overstay (undocumented) sebagai pelanggar aturan keimigrasian Malaysia.

“Bingung, serba salah ini. Kami datang ada paspor (permit kerja), tapi paspor mati disini, kenapa ditangkap juga kami. Kompeni (perusahaan) yang salah, kenapa dikasih mati paspor kami,” kata buruh sawit lain.

Dari hasil wawancara itu, para buruh sawit meminta imigrasi atau pemerintah Malaysia tidak menangkap mereka, tetapi mendesak perusahaan sawit membuatkan izin untuk pekerja termasuk keluarga.

Izin itu juga jadi syarat vaksinasi COVID-19. “Karena mustahil juga jawatan imigresen tidak tahu kalau kompeni ini pekerjanya tidak punya permit.”

Beberapa pekerja lain bahkan harus berhenti bekerja, karena terjadi kasus transmisi COVID-19 di perkebunan sawit. Mereka juga tak mendapatkan kejelasan apakah selama dirumahkan tetap mendapatkan gaji atau tidak. Mereka juga belum mendapatkan bantuan baik dari perusahaan maupun pemerintah.

Dari hasil temuan KBMB, mereka menilai tindakan otoritas Sabah yang menjadikan razia sebagai kebijakan menekan penularan COVID-19 tidaklah benar. Malahan, menurut analisis mereka, kebijakan itu bertentangan dengan upaya menekan jumlah penularan COVID-19. Makin banyak razia, hanya akan menciptakan lebih banyak klaster di pusat tahanan.

BACA JUGA  Demonstrasi Buruh Tuntut Pembatalan Undang-undang

Koalisi Buruh Migran Berdaulat, menuntut agar otoritas Sabah segera menghentikan segala bentuk operasi penangkapan kepada migran tak berdokumen. Hanya dengan menghentikan segala bentuk operasi inilah, migran akan merasa aman dan tak perlu bersembunyi dari otoritas.

Dengan demikian, upaya-upaya mencegah penyebaran virus COVID-19, termasuk vaksinasi kepada semua orang di Sabah, jadi lebih mudah.

Data KBMB, luas lahan sawit di Sabah sekitar 1,5 juta hektar, setara 26,5% dari total luas lahan perkebunan sawit di Malaysia, dengan hasil produksi sekitar Rp58 triliun, setara 30% ekspor sawit Malaysia.

“Sedangkan, jumlah pekerja migran 1 juta pekerja, data resmi jauh lebih kecil,” kata Musdalifah Jamal, Koordinator KBMB.

Dari seluruh pekerja, 90% merupakan buruh migran Indonesia, mayoritas dari Sulawesi dan Nusa Tenggara Timur (NTT). Kemudian dari Sulu, Filipina. “Sebelum pandemi paling tidak 70% pekerja berstatus undocumented (tanpa dokumen),” katanya.

Analisis mereka ini pakai sistem wawancara kepada para buruh Indonesia di Malaysia, sepanjang Agustus 2021.

Abu Mufakhir, anggota KBMB mengatakan, sejak Januari, analisis lapangan KBMB menemukan, 12.000 buruh migran ditangkap sampai Oktober 2020. Sepanjang 2020, sekitar 7.673 tahanan imigrasi dideportasi. Sisanya, 5.204 orang berada di berbagai pusat tahanan sementara (PTS).

“Data ini menunjuklan akan terjadi kapasitas penjara yang sesak, karena yang ditangkap lebih banyak daripada yang deportasi,” kata Abu.

Penangkapan buruh banyak terjadi beberapa daerah di Malaysia seperti Kota Kinabalu, Tawau, Sandakan, Kundasang dan lain-lain. Dia contohkan, 4-5 Agustus 2021 ada 155 imigran tanpa dokumen ditangkap di dua daerah berbeda di Tawau, sekitar 67 perempuan, dan 39 anak-anak. Gencarnya penangkapan ini membuat pekerja ketakutan dan bersembunyi.

Abu bilang, mereka bekerja 12 jam, sekitar pukul 1.00 malam bersembunyi bersama keluarga. Bahkan, di dalam perkebunan sawit sudah ada nama kampung tapo atau kampung tempat bersembunyi. “Setiap malam hari mereka melakukan persembunyian, di satu daerah sudah dinamakan menjadi kampung tapo, karena sudah terkenal sebagai kampung tempat bersembunyi di tengah sawit,” kata Abu.

Dari pengamatan mereka, penangkapan buruh memang malam hari, karena siang hari mereka bekerja di perkebunan sawit. “Mirisnya, pagi hari mereka harus bekerja,” katanya.

KBMB juga menemukan ruang isolasi di tempat penahanan dan tidak memadai. Pekerja yang terkonfirmasi positif COVID-19 hanya dibuatkan kamar triplek. “Bahkan toiletnya bercampur.”

Abu menunjukkan data, razia imigrasi membuat angka COVID-19 makin tinggi. Sejak awal pandemi sampai 10 Agustus 2021 sebanyak 6.518 kasus buruh migran terpapar COVID-19 di berbagai pusat tahanan di Sabah, Malaysia. Sebanyak 1.431 atau 22% masih menjalani perawatan, 5,087 atau 78% sembuh atau meninggal.

“Rinciannya 33% dari kasus itu terjadi di pusat penahanan imigrasi, 26% di pusat penahanan perbatasan dan 42% terjadi di penjara,” kata Abu.

BACA JUGA  Konfederasi Asosiasi Pengusaha Jerman Nyatakan 'Krisis Kepercayaan' pada Pemerintah

Penangkapan buruh, katanya, tak akan mengurangi angka COVID-19, tetapi sebaliknya, kasus makin besar karena akan terjadi kerumunan di pusat tahanan. “Selain itu memasukkan perempuan dan anak-anak ke pusat tahanan sementara merupakan perbuatan keji, merendahkan kemanusiaan. Padahal mereka sudah membantu perusahaan sejak lama.”

KBMB mendesakkan beberapa tuntutan. Pertama, menghentikan segala bentuk operasi penangkapan terhadap migran yang tak berdokumen, termasuk anak anak, perempuan dan orang tua. Kedua, mempercepat dan memperluas vaksinasi bagi migran tanpa syarat administrasi dan dokumen keimigrasian.

Ketiga, mempercepat dan menyederhanakan proses administrasi deportasi untuk menghindari penahanan berkepanjangan hingga pusat tahanan sementara bagi para migran di Sabah, tak makin penuh sesak.

Keempat, menyediakan layanan keimigrasian lebih mudah terakses, cepat, murah dan aman bagi buruh migran. Kelima, menjalankan program pengampunan bagi buruh migran tak berdokumen, termasuk mengadopsi program kalibrasi federal (federal recalibration programme).

Keenam, mengutamakan tanggung jawab penghormatan, pemenuhan dan perlindungan hak asasi manusia (HAM) bagi buruh migran, termasuk hak atas kesehatan, dibanding pendekatan represi.

Mukmin Nantang dari Borneo Komrad, Sabah, Malaysia, mengatakan, yang dialami pekerja Indonesia di Sabah sangat tidak adil ketika negara terjepit pandemi COVID-19, buruh migran jadi korban. “Padahal, buruh datang bukan untuk melancong tetapi bekerja membantu produksi sawit.”

“Kita berharap toleransi dari Pemerintah Malaysia. Kita berharap Malaysia mengurus persoalan ini,” katanya. Mukmin juga mendesak perusahaan sawit bekerjasama dengan pemerintah untuk membuka tempat vaksinasi di perkebunan sawit.

Komisioner Suhakam Malaysia, Jerald Joseph mengatakan, yang terjadi menimpa pekerja sawit adalah kelakuan tidak manusiawi. Dia merencanakan, bertemu langsung dengan para pekerja. “Kita tidak setuju apapun penyiksaan yang dilakukan dalam bentuk apapun,” katanya.

Jerald bilang, permasalahan tidak ada dokumen pekerja harus diselesaikan Pemerintah Malaysia. “Meskipun secara bisnis bagus, tetapi ini tidak untuk pekerja.”

Dia mengajak Komnas HAM bekerja sama lintas perbatasan. Jerald setuju dengan temuan KBMB, menahan pekerja sama saja menolong COVID-19 makin cepat tersebar.

Mohammad Choirul Anam, Komisioner Komnas HAM mengatakan, kejadian menimpa pekerja imigran sawit Indonesia di Malaysia ini adalah tanggung jawab bersama.

Persoalan initak hanya tanggung jawab Pemerintah Malaysia, juga Pemerintah Indonesia. “Kami setuju desakan menghentikan aksi razia dokumen kepada pekerja Indonesia,” katanya.

Choirul bilang, dampak kebijakan ini akan meningkatkan kasus COVID-19 di Malaysia. Dia mendorong KBMB melaporkan hasil analisis lapangan kondisi pekerja migran ini kepada Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) melalui mekanisme laporan khusus.

Kondisi Indonesia, saat ini juga cukup sulit, ketika pekerja dideportasi ke Indonesia, pemerintah daerah kewalahan menerima pekerja itu. “Seandainya Malaysia memperbaiki kebijakan ini, dan ribuan pekerja dari Indonesia dipulangkan, kita juga kewalahan, ini harus diantisipasi.” Demikian Mongabay mengabarkan.  [*/REDKBB]

- Advertisement -spot_imgspot_img
Must Read
Terbaru
- Advertisement -spot_imgspot_img
Baca Juga :