spot_img
spot_img
spot_img
BerandaBerita UtamaUpah Minimum Sektoral Tak Ada Lagi, Buruh Kian Menjerit
Sabtu, April 20, 2024

Upah Minimum Sektoral Tak Ada Lagi, Buruh Kian Menjerit

spot_imgspot_img

Kantorberitaburuh.com, JAKARTA – Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) berencana menggugat aturan turunan atau Peraturan pelaksanaan UU Cipta Kerja yang diterbitkan pemerintah sejak tanggal 2 Februari 2021 lalu.

Khusus klaster ketenagakerjaan, aturan turunan yang menjadi dasar pelaksanaan UU Cipta Kerja tertera pada Peraturan Pemerintah (PP) nomor 34, 35, 36 sampai PP nomor 37 tahun 2021.

KSBSI menyoroti PP nomor 35 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat dan Pemutusan Hubungan Kerja.

“Setelah kita telusuri, satuan ini ternyata jauh lebih buruk dari pada yang kita bayangkan. Misalnya kami menyoroti berkurangnya banyak kompensasi. Misalnya ada pembayaran 0,5 persen, ada pembayaran 0,75 persen, lalu misalnya yang dikatakan di Undang undang sebelumnya bahwa ada 25 kali pesangon, 25 bulan gaji, ternyata di peraturan pemerintah (no 35) tidak ada,” terang Presiden KSBSI, Elly Rosita Silaban dalam keterangan resminya, Selasa (23/2/2021).

Misalnya soal PKWT, ia menjelaskan, dalam aturan sebelumnya dulu PKWT diatur selama 3 tahun, tetapi di PP 35 ini PKWT bisa mencapai 5 tahun. Kalau pekerjaan itu tidak selesai bisa disambung lagi, namun tidak ada ketentuan yang mengatur soal itu.

BACA JUGA  YLBHI: Perppu Cipta Kerja Kudeta atas Konstitusi?

Yang lebih kontradiksi adalah buruh yang bekerja (sebagai) harian lepas dan sudah bekerja lebih dari 3 bulan, diatur bahwa buruh akan menjadi PKWTT (pekerja tetap).

Elly mempertanyakan, bagaimana mungkin itu bisa menjadi PKWTT sementara buruh yang kontrak (PKWT) 5 tahun saja tetap akan menjadi buruh kontrak setelah itu.

Ia menyatakan, sejauh ini, KSBSI masih belum dapat menyimpulkan ke-4 peraturan pemerintah tersebut. Namun dari hasil analisa isi dari PP nomor 35 itu, kemungkinan besar KSBSI akan kembali melakukan gugatan judicial review dan aksi unjuk rasa.

Tak Ada Upah Minimum Sektoral

Sementara itu, untuk PP nomor 36 tentang Pengupahan, pemerintah resmi menghapus upah minimum sektoral (UMSK). Padahal, di aturan sebelumnya pada PP 78 tahun 2015 tentang Pengupahan, upah sektoral menjadi salah satu yang tercantum.

Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal menilai kebijakan menghapus sektoral hanya membuat ketidakadilan.

“Akan terjadi ketimpangan antar sektor – unfairness, nggak ada rasa keadilan. Upah buruh harus mencerminkan rasa keadilan, nggak bisa semua orang sama,” katanya, dikutip Kantor Berita Buruh dari CNBC Indonesia, Rabu (24/2/21).

BACA JUGA  Sikap Presiden KSBSI Tentang Pro Kontra Cuti 6 Bulan Melahirkan

Ia menyebut Konvensi ILO (Organisasi Perburuhan Internasional) Nomor 131 tentang Penetapan Upah Minimum sudah mengatur upah minimum sektoral. Jika Pemerintah menghapusnya, maka berbalikkan dengan apa yang sudah menjadi persetujuan di tingkat internasional.

“Konvensi itu memberi ruang upah minimum sektoral, artinya antara capital intensive padat modal dan labour intensive padat karya pasti beda upah minimumnya. Misal pabrik mobil upah minimum sesama pabrik mobil sama, pabrik motor berbagai merk upah minimum sama. Tapi nggak bisa pabrik motor-mobil disamakan dengan pabrik sendal jepit, itu menyebabkan diskriminasi upah,” sebut Said Iqbal.

“Kita tetap minta UMSK-UMSP (Upah Minimum Sektoral Kota/Kabupaten dan Provinsi) dihidupkan kembali karena semangat konstitusi rasa keadilan, harus diterjamahkan dalam aturan,” lanjutnya.

Saat ini, upah sektoral sudah tidak tercantum lagi di PP tentang Pengupahan terbaru. Pada pasal 82 tegas menyebutkan itu. “Gubernur tidak boleh lagi menetapkan Upah minimum sektoral,” tulisnya.

Padahal, pada PP 78 tahun 2015 tentang Pengupahan jelas tertulis. Pada Pasal 49 ayat (1) menyebutkan Gubernur dapat menetapkan Upah minimum sektoral provinsi dan/atau kabupaten/kota berdasarkan hasil kesepakatan asosiasi pengusaha dengan serikat pekerja/serikat buruh pada sektor yang bersangkutan.

BACA JUGA  Vaksin Massal Buruh di Kemnaker, KSBSI: Pengurus Sehat Anggota Sehat!

“Penetapan Upah minimum sektoral sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah mendapat saran dan pertimbangan mengenai sektor unggulan dari dewan pengupahan provinsi atau dewan pengupahan kabupaten/kota sesuai dengan tugas dan kewenangannya,” tulis pasal 49 ayat (2).

Dari kalangan dunia usaha, UMSK memang jadi momok, sebab biasanya levelnya jauh lebih tinggi dari Upah Minimum Provinsi (UMP) maupun Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK).

Sebagai contoh Upah minimum provinsi (UMP) 2019, Banten memang hanya Rp 2,2 juta, tapi justru yang lebih tinggi adalah upah minimum kabupaten/kota (UMK) dan UMKS 2019. UMK Kota Cilegon sebesar Rp 3,91 juta, lalu UMSK jauh lebih tinggi, yaitu:

1. Industri bahan kimia dan barang kimia Rp 4,283 juta,
2. Industri Produk Batu Bara dan Pengilangan Minyak Bumi, Industri Karet, Industri Barang Galian, Industri Logam Dasar, Industri Barang Logam Bukan Mesin, Industri Peralatan Listrik Rp 4,268 juta,
3. Industri makanan, pergudangan dan penyimpanan dan lain-lain Rp 4,188 juta,
4. Industri Telekomunikasi, Real Estate, Pariwisata, Rumah Sakit Rp 4,110 juta

(*/RedKBB)

- Advertisement -spot_imgspot_img
Must Read
Terbaru
- Advertisement -spot_imgspot_img
Baca Juga :