spot_img
spot_img
spot_img
BerandaBerita UtamaSawit Indonesia Percaya Diri Lawan Diskriminasi Uni Eropa
Jumat, April 26, 2024

Sawit Indonesia Percaya Diri Lawan Diskriminasi Uni Eropa

spot_imgspot_img

Kantorberitaburuh.com, JAKARTA – Indonesia masih menjadi negara produsen minyak sawit terbesar di dunia. Sebagai komoditas unggulan, kran eskpor sawit Indonesia ke Eropa masih terbentur dengan sikap arogan Uni Eropa (UE) yang mendiskreditkan sawit Indonesia dengan tuduhan tak ramah lingkungan.

Dalih itu dari waktu ke waktu menjadi alasan bagi UE menolak eskpor sawit Indonesia, namun begitu, pemerintah terus melakukan perlawanan atas kebijakan sepihak tersebut.

Seperti diberitakan, UE terus mendiskriminasi sawit. Berdalih nol emisi karbon pada 2030, sawit didiskreditkan sebagai minyak nabati tak ramah lingkungan.

Padahal sawit merupakan minyak nabati paling sustainable dalam memenuhi kebutuhan masyarakat dunia di masa yang akan datang. Kebijakan Renewable Energy Directive (RED) II yang merupakan bagian dari green deal policy , melalui skema indirect Land Use Change (ILUC) mengecualikan sawit karena dianggap beresiko tinggi menyebabkan deforestasi.

Padahal penelitian Union of Concervation of Nature (IUCN) menyatakan sawit sembilan kali lebih efisien dalam penggunaan lahan. Cut of date yang ditetapkan dalam ILUC yakni tahun 2008 dinilai tidak fair Negara-negara di benua biru tersebut telah terlebih dahulu melakukan deforestasi masif di era revolusi Industri.

BACA JUGA  Puncak L20 Summit 2022 Resmi Digelar Dihadiri Pemimpin Serikat Buruh Dunia

Penelitian Roser (2012) bahkan menyebutkan deforestasi yang dilakukan di Eropa kemudian Amerika Utara menyebabkan penurunan luas hutan dunia secara signifikan termasuk biodiversity loss didalamnya.

Menanggapi hal tersebut, Indonesia sebagai produsen minyak sawit terbesar di dunia mengajukan gugatan atas Uni Eropa ke World Trade Organization (WTO) yang dianggap mendiskreditkan komoditas sawit.

“Seluruh minyak nabati di dunia harus memiliki standar pendekatan yang sama dan diakui PBB yakni dengan berbasis Sustainable Development Goals (SDGs), bukan satu atau dua indikator yang dikarang-karang, tidak diakui dunia dan tidak akademis,” tegas Wakil Mentri Luar Negeri, Mahendra Siregar dalam webinar Inapalmoil beberapa waktu lalu yang dinukil Kantor Berita Buruh dari Inilah.com, Sabtu (3/4/2021).

Duta Besar Uni Eropa untuk Indonesia, Vincent Piket mengungkapkan, Komisi Uni Eropa (UE) sedang meninjau ulang kebijakan RED II dan hasilnya akan dipublikasikan pada bulan Juni tahun ini. Dengan melakukan penelitian ilmiah yang ektensif khususnya untuk komoditas minyak sawit sebagai bagian dari Green Deal. Vincent meyakinkan bahwa dampak terdapak industri minyak sawit ataupun minyak nabati lainnya, akan didasarkan pada penilaian yang adil berbasis ilmiah.

BACA JUGA  DPP FSB GARTEKS KSBSI Intruksikan DPC Se-Indonesia Turun ke Jalan

RED II merupakan hasil amandemen dari kebijakan sebelumnya memiliki kriteria keberlanjutan yang salah satunya mengatur perhitungan emisi gas rumah kaca pada perubahan penggunaan lahan secara langsung. “Tidak akan ada pelarangan impor minyak sawit atau biofuel. Tidak sekarang, tidak pada 2023 bahkan di 2030,” ujar Vincent.

Perundingan terus berlangsung, baik antar negara maupun tingkat kawasan. Indonesia maupun Uni Eropa mendorong kerjasama yang dilakukan secara bilateral maupun multilateral.

Ketua Bidang Luar Negeri Gabungan Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Fadhil Hasan menjelaskan Daya saing yang tinggi yang dimiliki oleh komoditas sawit tidak mengkhawatirkan posisinya di pasar global.

Fadhil Hasan mengaku pelaku usaha juga mampu beradaptasi melalui berbagai sertifikasi, mulai dari sertifikasi yang dimiliki oleh pasar seperti Roundtable Sustainable Palm Oil (RSPO) maupun negara yaitu Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO).

BACA JUGA  Turun Gunung, Aktivis 98 bentuk Komite Rakyat Lawan KKN

“Selain itu, Indonesia juga memiliki leverage tinggi serta pasar terbesar di ASEAN. Menguasai Setengah dari populasi di wilayah ASEAN, menjadikan Indonesia sebagai regional leader sehingga berpengaruh berpengaruh bagi perekonomian dunia. Hal ini menjadi bargaining power dalam perundingan bilateral maupun multilateral,” ujar Fadhil Hasan.

Fadhil Hasan menyoroti pendekatan diplomasi trade and sustainable development (TSD) yang digunakan dalam perundingan. Menurutnya, penting untuk meninjau kembali perjanjian perdagangan sehingga mampu untuk mengakomodir seluruh kepentingan kedua bela pihak, terutama pada perjanjian Comperhensive Economic Partnership Agreement (CEPA) untuk menghindari regulasi lain diluar daripada yang telah diatur dalam CEPA karena akan menjadi hambatan dagang lainnya.

Hal ini diamini Hikmahanto Juwana, Pengamat Hukum Internasional Universitas Indonesia bahwasanya pasar di Indonesia merupakan kekuatan di ASEAN. Namun menurut Hikmahanto, kerjasama bilateral patut untuk didorong lebih jauh dikarenakan kepentingan masing-masing negara di ASEAN yang akhirnya mengecilkan kekuatan dan kepentingan negara. (*/REDKBB)

- Advertisement -spot_imgspot_img
Must Read
Terbaru
- Advertisement -spot_imgspot_img
Baca Juga :