spot_img
spot_img
spot_img
BerandaBerita UtamaCatatan Kritis KSBSI: PMI Bukan Komoditas Ekonomi
Jumat, April 19, 2024

Catatan Kritis KSBSI: PMI Bukan Komoditas Ekonomi

spot_imgspot_img

Kantorberitaburuh.com, JAKARTA – Berdasarkan data analisa media yang dilakukan Jaringan Buruh Migran (JBM) memperlihatkan tahun terjadi lonjakan kasus sangat besar terhadap Pekerja Migran Indonesia. Yakni sebanyak 61 persen bila dibandingkan pada 2019. Terutama kasus pemulangan secara deportasi dan repatriasi pekerja migran Indonesia (PMI), khususnya PMI yang tidak memiliki dokumen paspor.

Lalu terdapat kasus penahanan PMI sehingga menyebabkan trauma. Kemudian Pada masa pandemi berdasarkan hasil survei, 35 responden survei menunjukkan kondisi PMI pada masa pandemi Covid-19 mengalami kerentanan kerja lebih buruk. Diantaranya beban kerja semakin berat, pemotongan upah, tidak ada hari libur dan sulit untuk berkumpul terutama untuk berorganisasi.

Yatini Sulistyowati Departemen Buruh Migran Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) mengapresiasi bahwa disatu sisi memang ada kebijakan pemerintah dalam perlindungan buruh migran. Seperti pengelolaan asuransi keselamatan kerja dan kesehatan telah dikelola oleh negara. Melalui BPJS Ketenagakerjaan yang sekarang menjadi BP Jamsostek.

“Pengelolaan dana asuransi itu juga diambil alih negara sebelum disahkannya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 disahkan lalu keluar turunannya Permen Nomor 7 Tahun 2017 untuk jaminan perlindungan Pekerja Migran Indonesia (PMI),” ucapnya, di Jakarta, beberapa waktu lalu.

BACA JUGA  Kemnaker Kumpulkan Data Penyebab Kecelakaan Kerja di Morowali

Namun, Permen tersebut justru menjadi bermasalah karena pada tahun 2018 terbit pula produk Permen yang tidak siginifikan perubahannya dalam melindungi kak PMI. Diantaranya adalah sebenarnya BP Jamsostek itu memiliki 5 program. Seperti jaminan hari tua, jaminan kematian, jaminan kecelakaan kerja, jaminan pensiun dan jaminan kehilangan pekerjaan dalam akses Undang-Undang Cipta Kerja.

“Namun dalam hal program ini, buruh migran hanya diberikan akses jaminan akses kecelakaan kerja dan jaminan kematian. Sedangkan jaminan hari tua hanya pilihan saja,” ungkapnya.

Sehingga, seorang pekerja migran ingin mengambil program jaminan yang lain, mereka harus membayar premium. Sementara kalau pekerja lokal untuk mengikuti semua program jaminan itu bisa ditanggung oleh perusahaan. Contohnya, masalah jaminan hari tua yang seharusnya mendapatkan 5,7 persen premiumnya harus dibayar, justru pekerjanya harus membayar 2 persen dan jaminan pensiun. Dan jaminan pensiun hanya 2 persen.

Tentunya hal ini menjadi masalah bagi seorang PMI, karena mereka tidak mendapatkan jaminan sosial yang seperti diharapkan. Kalau melihat Permen Nomor 1 Tahun 2018, justru manfaat perlindungan sosial itu menguntungkan pekerja lokal. Bukan untuk PMI yang bekerja di luar negeri.

“Yang jadi pertanyaan, bagaimana jadinya kalau seorang PMI sakit parah saat mereka bekerja di luar negeri. Sementara jaminan sosial yang diberikan pemerintah kurang melindungi mereka. Sementara mereka butuh akses pengobatan secepat mungkin atau rawat inap,” pungkasnya.

BACA JUGA  Wakabinda Kepri Cabut Laporan Terhadap Romo Paschal

Ia menuturkan banyak pengakuan dari PMI yang bekerja di luar negeri mengatakan minim mendapatkan akses kesehatan yang layak di negara mereka tempat bekerja. Padahal mereka terdafat sebagai peserta BP Jamsostek. Bahkan mau tidak mau terpaksa mengeluarkan biaya yang tinggi, seperti di Malaysia.

“Jadi seorang PMI yang sakit keras di Malaysia harus mengeluarkan uang muka dulu di rumah sakit, sebelum rawat inap,” bebernya.

Begitu juga dengan kasus kecelakaankerja. Kalau di dalam negeri, seorang pekerja lokal peserta BP Jamsostek mengalami kecelakaan kerja, maka pihak rumah sakit segera melayaninya. Tapi kalau kasus kecelakaan kerja PMI di negara tujuan tidak segampang itu langsung mendapatkan pelayanan.

“Mereka harus mengeluarkan biaya sendiri dan tidak murah. Mirisnya, biaya yang dikeluarkan oleh BP Jamsostek juga tidak setimpal, hanya diberikan biaya transportasi kepada PMI yang mengalami kecelakaan,” ungkapnya.

Menurutnya kebijakan tersebut sangat diskriminatif. Contohnya, salah satu persyaratan klaim BP Jamsostek adalah 7 hari kerja ketika musibah terjadi. Dan harus membutuhkan nota dari perwakilan negara.

BACA JUGA  Yatini: Soal Buruh Migran, Kementerian dan Lembaga Negara Tidak Terlihat Bersinergi

“Sementara untuk mendapatkan nota dari perwakilan pemerintah sangat sulit sekali,” ujarnya.

Ditengah pandemi Covid-19, status PMI pun mengalami diskriminasi. Contohnya, saat beberapa waktu lalu Negara Malaysia sedang menerapkan loock down, karena tingginya penyebaran virus Corona, justru pekerja migran asal Indonesia mengalami kesusahan. Sebab, kesulitan mendapatkan akses informasi dan alat pelindung diri (APD) untuk menghindari virus mematikan itu.

“Bahkan ketika PMI itu pulang ke kampung halamannya dari Malaysia, justru salah satu pihak pemerintah kabupaten (Pemkab) terkesan mengabaikan. Mereka dianggap pulang ke Indonesia membawa virus Covid-19,” ungkapnya.

Selain itu, kepulangan PMI ini dinilai juga memberatkan pemerintah karena harus mengeluarkan biaya untuk karantina. Dan mirisnya lagi, justru dibeberapa wilayah, pemerintah daerahnya justru lebih mementingkan agenda Pilkada dari pada kepulangan PMI.

Tahun 2020 ini adalah tahun untuk semua masyarakat dunia. Termasuk kepada PMI. Sebab, ditengah pandemi ini banyak diantara mereka yang tidak diperhatikan negara. Dia menghimbau, negara harus hadir memperhatikan nasib PMI.

“Bukan menjadikan PMI sebagai komoditas ekonomi, namun harus lebih memanusiakan manusia,” tutupnya. (Andreas/KSBSI.ORG)

- Advertisement -spot_imgspot_img
Must Read

Dosa Kolektif

Terbaru
- Advertisement -spot_imgspot_img
Baca Juga :