spot_img
spot_img
spot_img
BerandaInternasionalAsia Pasifik10 Tahun Tragedi ‘Bunuh Diri Pekerja Foxconn’, Pekerja di China Masih Alami...
Sabtu, April 20, 2024

10 Tahun Tragedi ‘Bunuh Diri Pekerja Foxconn’, Pekerja di China Masih Alami Penindasan

spot_imgspot_img

Oleh: Ma Shu, (*)

Kantorberitaburuh.com – Sudah 10 tahun lamanya sejak tragedi ‘bunuh diri pekerja Foxconn’ terjadi pada 2010. Ketika itu, 18 pekerja muda melakukan bunuh diri secara beruntun. Tindakan ini kemudian menguak kondisi kerja buruh di pabrik Foxconn dan mendapat perhatian media dan publik secara luas.

Namun, baik Foxconn (pabrik penerima order) dan Apple (perusahaan pemegang merk dan pemberi order produksi), termasuk miliarder Terry Guo pemilik Foxconn, dan para konsumen mulai melupakan tragedi bunuh diri tersebut. Sementara itu, praktek eksploitasi di pabrik Foxconn tidak betul-betul membaik. Nasib pekerja malah makin terpuruk.

Para pekerja pabrik berasal dari berbagai daerah pedesaan di daratan China. Meski mereka masuk dalam generasi ‘Milenial’ (lahir antara tahun 1990-1998an), namun para pekerja itu jauh dari pengertian ‘generasi baru’ yang seringkali dibangga-banggakan. Para pekerja itu pergi merantau dari kampung halamannya pada usia remaja untuk mencari nafkah. Sekarang ini, mereka telah memasuki usia paruh baya (30 tahunan).

Generasi pekerja ini kehilangan masa mudanya akibat rutinitas kerja di pabrik yang serba monoton dan membosankan. Kalangan pekerja ini tidak menjalani hidup yang diidam-idamkan. Malahan, mereka hidup dalam tekanan antara mengurus orang tuanya atau anaknya. Mereka benar-benar menjalani masa hidup yang suram.

Zhi Yinng (bukan nama sebenarnya), berusia 34 tahun, memulai perjalanannya sebagai pekerja pada Desember 2005. Titik keberangkatannya adalah ketika Ia dikirim oleh sekolahnya ke pabrik Foxconn. Ketika itu, Foxconn merupakan pabrik yang diidam-idamkan para pencari kerja.

Foxconn sebetulnya telah dikenal sebagai tempat kerja yang busuk, terutama setelah tragedi bunuh diri pekerja antara 2009 dan 2010. Selain itu, sejumlah laporan telah mengungkapkan praktek pendisiplinan oleh manajemen pabrik yang kasar dan amat termiliterisasi. Namun, Foxconn masih dianggap oleh banyak kalangan pencari kerja sebagai tempat yang lebih baik daripada pabrik-pabrik kecil yang membayar upah lebih rendah.

Posisi Foxconn sebagai tempat yang dianggap ‘lebih baik’ ini menguntungkan Foxconn itu sendiri, terutama untuk melakukan praktek pendisiplinan buruh.

“Setiap menjelang akhir tahun, kamu harus waspada dan bersiap-siap,’ kata Zhi. “Jika kamu tidak patuh atau dianggap tidak bekerja dengan baik, kamu akan dipecat saat Tahun Baru. Manajemen menyebutnya sebagai upaya ‘perbaikan’ produksi. Setiap tahun, sekitar 5% pekerja dibuang.”

“Beberapa tahun bekerja di Foxconn merupakan pengalaman menakutkan,” Zhi menambahkan. “Kamu selalu merasa ketakutan dipecat. Untuk diterima kerja, kamu harus mengeluarkan biaya besar. Saya direkrut melalui sekolah dan harus mengeluarkan biaya beberapa ratus ribu hingga jutaan Rupiah[1] agar bisa diterima kerja. Biaya itu belum termasuk ongkos transportasi dan biaya lainnya.”

“Dalam beberapa kasus, biaya masuk kerja tidak seberapa. Namun saya juga mendengar beberapa cerita di mana pekerja harus membayar jutaan hingga belasan juta Rupiah agar diterima kerja (upah minimum untuk operator pabrik ketika itu adalah 690 Yuan/ bulan (Rp. 1,5 juta).[2] Tidak mudah untuk bisa bekerja di Foxconn ketika itu. Mereka hanya menerima pekerja dengan usia di bawah 24 tahun. Di atas itu, mereka tidak akan menerima.”

Zhi Ying mulai bekerja di Foxconn bersama dengan 19 teman sekelasnya waktu sekolah. Meski kelulusan resmi mereka masih 6 bulan lagi, namun pihak sekolah ingin segera mengirim murid-muridnya ke pabrik dan mendapatkan ‘uang komisi’, baik dari pabrik maupun murid.

Pihak sekolah tidak peduli maupun bertanggung jawab atas pendidikan muridnya. Bagi pihak sekolah, tidak soal meskipun pekerjaan murid-murid lulusan bekerja tanpa hubungannya dengan apa yang dipelajari dan didapatkan di sekolah.

Di sisi lainnya, pabrik Foxconn banyak merekrut ‘pekerja pelajar’[3]. Pekerja pelajar ini tidak hanya cerdas, namun juga penurut, mudah diatur dan murah. Apalagi pilihan terbaik bagi perusahaan untuk mencari orang untuk ditindas?

‘Saya tidak pernah mengalami penderitaan seperti ini sebelumnya’: pengalaman pertama bekerja di Foxconn

“Ketika pertama kali bekerja di Foxconn, setiap hari saya menangis,” kata Zhi. “Ketika di rumah, saya tidak pernah mengalami penderitaan seperti ini sebelumnya.” Ketika pertama kali masuk ke pabrik, Zhi ditempatkan di bagian produksi. Pergantian shift setiap 12 jam sekali, dari jam 8 pagi hingga 8 malam.

BACA JUGA  Apple, Dell hingga BMW Dituding Lakukan Kerja Paksa Muslim Uighur

Selain jam istirahat makan siang selama setengah jam pada siang dan sore hari, Zhi harus berdiri sepanjang waktu. “Ketika pertama kali kerja, saya tidak punya bayangan apapun. Saya hanya membawa sepasang sepatu hak dari rumah. Setelah beberapa hari bekerja sambil berdiri, kaki saya mulai merasa sakit.”

“Di saat pulang kerja, saya masih harus berjalan kaki selama setengah jam untuk tiba di tempat tinggal. Saya memilih untuk berjalan tanpa menggunakan alas kaki (karena kaki sakit, pen). Setelah beberapa hari kerja, akhirnya saya punyai waktu luang untuk membeli sepatu kain. Di hari-hari itu, saya diharuskan bekerja sambil berdiri selama belasan jam. Di sore hari, saya sering merasa terkantuk-kantuk. Susah sekali menahannya, saya harus mencubit diri sendiri agar tidak tertidur.”

“Waktu berjalan sangat cepat sejak saya lulus sekolah. Rasanya seperti robot: berada di tempat yang sama setiap hari, mengulang-ulang gerakan tubuh ribuan kali. Selain makan dan ke toilet, waktumu habis untuk mempelototi barang-barang yang diproduksi. Ketika itu, pihak manajemen sangat ketat,” kata Zhi menjelaskan.

“Kamu tidak boleh memanjangkan kuku. Jika panjang sedikit saja, kamu akan kena tegur, entah itu seseorang dari bagian Quality Control, Pengawas, maupun Manajer Lini Produksi—semua orang, bahkan paman mereka mungkin akan menegurmu.”

Kantin pabrik seperti arena pertempuran. Kamu hanya puya waktu 30 menit. Sementara itu ada banyak sekali orang, dan banyak yang menyerobot antrian. Beberapa orang terkadang menjadi emosional, berkelahi dan akhirnya tidak punya waktu untuk makan siang”

Foxconn sering merekrut ‘pekerja pelajar’, yang tidak hanya cerdas, tapi juga penurut, mudah diatur dan murah. Apalagi pilihan terbaik bagi perusahaan untuk mencari orang untuk ditindas?

Meskipun Zhi hanya selama beberapa bulan saja bekerja di bagian produksi, namun ingatannya tetap segar selama 15 tahun. Ingatan atas lingkungan kerja yang penuh tekanan, monoton, serta perasaan ketakutan luar biasa dari kontrol manajemen melekat kuat dalam ingatannya. “Saya sama sekali tidak ingin mengulangi bpengalaman itu. Bagi saya, lebih baik tidak punya banyak uang dan harus bekerja lebih keras di tempat lain daripada kembali ke pabrik itu.”

Di saat Foxconn tengah berkembang dengan pesat pada 2005-2006, tingkat keluar-masuk pekerja semakin banyak akibat semakin cepatnya lini produksi bekerja—seturut dengan kerja-kerja yang repetitif, monoton dalam ruangan yang makin sesak. Pada momen itu, Zhi Ying (yang ketika itu berusia 19 tahun), mendapat kenaikan pangkat. Berkat kerjanya yang cepat dan efisien, Zhi dipromosikan sebagai Manajer Lini Produksi.

Posisi yang lebih tinggi ini membuatnya lebih mempunyai kemandirian—Ia tidak lagi perlu menjadi ‘robot’ yang berdiri selama berjam-jam. Zhi dapat datang dan pergi untuk memeriksa lini produksi bekerja. Namun, hal ini juga berarti Zhi menanggung tanggung jawab lebih besar.

“Kamu harus menyelesaikan seluruh pekerjaan harian. Kamu harus menjaga penampilan dan mengikuti standar yang ketat. Tidak boleh ada satupun masalah terkait kualitas produksi. Jika ada pelanggan yang komplain akibat produk cacat, komplain itu akan tercatat. Kamu juga harus berteman dengan pekerja lainnya. Ketika pekerja tidak mengikuti perintah dan membuat masalah, hal itu akan menyulitkan.”

Sebagai pemain besar dalam industri manufaktur, Foxconn bergantung pada eksploitasi tenaga kerja sebesar-besarnya. Tidak hanya menambah jam kerja, atau memotong waktu makan siang dan pergi ke toilet, perusahaan juga merancang cara kerja yang lebih canggih dengan mendikte setiap gerak tubuh pekerja untuk mendapatkan tingkat efisiensi produksi yang maksimal. Perusahaann juga mengurangi upah melalui sistem pengupahan dan promosi yang rumit.

“Sebelumnya, kamu hanya perlu mengikuti satu tes untuk mendapat kenaikan gaji. Kenaikan gaji ketika itu tidak ditentukan oleh jabatan,” kata Zhi.

BACA JUGA  Ciker Masih Polemik, Kini Terbit Permenaker Nomor 5/2023: Rugikan Buruh?

“Satu tahun pertama saya bekerja sebagai Manajer Lini Produksi, pihak perusahaan mengatakan bahwa saya tidak bisa mengikuti tes karena belum bekerja selama satu tahun penuh. Pada tahun kedua, saya tidak lulus tes. Pada tahun ketiga, hampir dipastikan kamu akan lulus tes. Saya kemudian mendapatan bonus 500 Yuan dan upah pokok saya naik beberapa ratus Yuan.”

Singkatnya, selama dua tahun pertama Zhi bekerja sebagai Manajer Lini Produksi dengan berbagai tanggung jawabnya, Zhi tidak mendapat upah sesuai dengan posisinya.

Para pekerja ini mengalami tekanan yang semakin meningkat hanya untu masa depan yang suram.

“Saya masih ingat ketika tragedi bunuh diri sedang meningkat. Ketika itu, saya baru mulai bekerja sebagai Mandor dan sedang pergi ke gedung sebelah bersama rekan Mandor untuk merencanakan satu area gudang baru. Sesaat sebelum masuk ke ruangan, seorang pekerja sedang melompat dari atas asrama. Rekan Mandor melihat kejadian itu dengan mata kepalanya sendiri. Kejadian itu sangat menakutkannya.”

Selama lima tahun pertama di Foxconn dan ketika diangkat sebagai Mandor, Zhi Ying kesulitan untuk memahami tekanan yang dialami oleh para pekerja. Zhi heran, mengapa pekerja tidak sanggup mengatasi pekerjaan yang monoton—tidak seperti posisi Zhi. “Jika kamu sanggup, maka kerjakan. Jika tidak bekerja (di bawah tekanan, pen), kamu bisa pindah. Kenapa mereka malah memilih bunuh diri?” kata Zhi. “Ketika itu, saya tidak bisa memahaminya.”

Kenyataannya, banyak sekali pekerja yang tidak sanggup bekerja di bawah tekanan akhirnya memutuskan keluar. Termasuk rekan seangkatan Zhi—dari 19 teman sekelasnya, hanya dua orang yang bertahan hingga tahun pertama. Namun bagi sebagian pekerja, berhenti kerja bukanlah jalan keluar (atas kesulitan hidup). Dari sedikit sekali pilihan lapangan kerja, Foxconn masih menjadi pilihan yang relatif ‘lebih baik’.

Bagi pekerja bagian produksi yang setiap harinya kena ‘omelan’ akibat kesalahan-kesalahan kecil, harga dirinya semakin hari semakin tak berarti. Tubuhnya dan setiap gerak geriknya berada di bawah pengawasan ketat dari bagian Quality Control, Pengawas, Manajer Lini Produsi dan Mandor.

Para pekerja ini seolah-olah menjadi satu dengan setiap komponen-komponen bahan produksi, dan menyatu dalam irama mesin-mesin otomatis. Sebagai operator mesin produksi, emosi para pekerja, termasuk pengalamannya, rasa sakitnya—yang hingga mati rasa—tidak pernah satu pun orang tahu.

Para pekerja tanpa harga diri ini memutuskan untuk lompat dari atas gedung—bunuh diri. Kisah belasan korban ini tetap menjadi misteri hingga hari ini.

Ibu hamil dalam pabrik: lini produksi berputar tanpa peduli kamu hamil

Zhi Ying melahirkan pertama kali pada 2014. Seiring dengan cuti kehamilannya, Ia hamil untuk kedua kalinya. Lini produksi seharusnya bukan tempat yang cocok bagi tubuh perempuan yang sedang hamil.

“Setelah saya melahirkan Miao Miao, saya masih mengurus lini produksi. Namun ketika saya hamil lagi, sulit untuk mengurus produksi,” kata Zhi. “Departemen produksi sangat ketat. Ketika kamu berada di lapangan untuk melakukan pengawasan, banyak sekali debu dan suara bising.”

“Kamu harus mengatur pekerja. Jika ada kesalahan, kamu harus mengatasinya. Kamu harus memastikan target produksi tercapai sambil menjamin keselamatan pekerja. Setiap hari kamu harus berada di lapangan, berlari ke sana kemari. Namun ketika kamu sedang hamil, semua hal menjadi rumit. Situasinya sulit sekali, ditambah kamu harus sering izin untuk melakukan pemeriksaan kehamilan.”

Lini produksi tidak akan berhenti sekalipun seorang pekerja sedang hamil. Proses produksi tidak akan ditunda sementara jika seorang pekerja meminta izin untuk mengurus anaknya yang sakit. Tidak jarang pekerja bagian produksi yang meninggalkan pekerjaannya setelah melahirkan.

“Seseorang tidak akan bisa paham jika belum pernah punya anak,” kata Zhi. “Mereka hanya berpikir bahwa kamu sedang mengambil alih tempat orang lain. Dari apa yang saya lihat,dalam lini produksi, hampir tidak ada seorang pun yang akan membawa anaknya ke tempat kerja. Biasanya, hanya ada pekerja bagian kantor, atau mandor.”

‘Kamu seperti robot: berada di tempat yang sama setiap hari, mengulang-ulang gerakan tubuh ribuan kali.’

BACA JUGA  Ketika "Jomblo" jadi Persoalan bagi Buruh

Zhi tidak ingin nasib anaknya seperti mereka yang ditinggalkan oleh orang tuanya yang pergi merantau. Untuk itu, Zhi mengajukan perpindahan ke bagian kantor sebagai Manajer Produksi. Kebanyakan tugas kantoran di Foxconn ada di dalam Departemen Periferal—periferal di sini berarti tugas yang terbatas pada pengaturan kerja lembur, dengan upah yang lebih rendah. Semua hal telah dipertimbangkan Zhi, dan dia merasa bos barunya ‘cukup baik hati’.

“Terkadang saya meminta izin waktu, dan bos akan mengatakan ‘silakan’. Beberapa kali saya meminta izin beberapa jam untuk pergi, dan bos akan membiarkan saya pergi tanpa menyaratkan surat izin dalam bentuk apapun.” Meski keleluasaan dalam bekerja ini membuat Zhi dapat sambil mengurus keluarganya, namun hal ini menghilangkan peluang promosi jabatan. “Saya katakan kepada suami, jika bukan demi anak, saya tidak akan meminta pindah ke posisi ini. Kamu seperti terjebak dalam satu posisi karena rasanya begitu membosankan dan tanpa kesempatan berkembang maupun jenjang karir profesional.”

Zhi Ying telah menjalani pekerjaan yang membosankan itu selama lima tahun. Kedua anaknya telah masuk ke sekolah dasar. Karena anak-anaknya tidak memenuhi syarat masuk ke sekolah negeri, Zhi Ying harus menghabiskan sebagian besar gajinya sebesar 6,000 Yuan untuk biaya masukk sekolah dan biaya sehari-hari.

Selama lima tahun terakhir, Zhi berupaya untuk mencari jalan keluar, hingga pada titik berharap Foxconn akan memecatnya. Dengan cara itu, Zhi bisa menggunakan uang pesangon untuk membawa keluarganya ke kampung halaman dan memulai usaha kecil.

Sebagai operator mesin produksi, emosi para pekerja, termasuk pengalamannya, rasa sakitnya—yang hingga mati rasa—tidak pernah satu pun orang tahu.

Zhi juga berusaha untuk berdagang sejumlah barang melalui media sosial, menjual segala macam mulai dari obat-obatan tradisional China hingga popok sekali pakai melalui berbagai platform dagang di WeChat.

Sadar akan tipuan iklan-iklan yang mengklaim bisa “menghasilan jutaan Yuan setiap tahunnya dengan mempromosikan pada temanmu”, Zhi tidak menaruh uang terlalu besar pada skema itu—namun hanya satu kali. Namun, meski meragukan, perusahaan online, ini tetap menjadi salah satu pilihan terbaik dalam mimpinya untuk kehidupan yang lebih baik.

Selama sepuluh tahun terahir, Foxconn telah beranjak dari urutan ke-112 menjadi urutan ke-23 dalam ranking teratas 500 Fortune. Namun, generasi baru pekerja saat ini diupah lebih rendah daripada standar upah minimum. Mereka bergantung pada upah lembur untuk dapat memenuhi standar hidup minimum di kota.

Foxconn mendeskripsikan budaya perusahaannya sebagai tempat di mana “kamu mendapatkan apa yang kamu berikan.” Di saat yang sama, ratusan ribu pekerja seperti Zhi Ying, seorang pekerja yang dengan rajin dan sungguh-sungguh mencoba mencari nafkah selama lebih dari satu dekade, tetap tidak mempunyai waktu melihat anaknya tumbuh besar.

Apa yang ‘diberikan’ kepada perusahaan tidak lain curahan kerja, masa muda, dan waktu untuk bersama keluarga, dan juga harapan masa depan. Dibandingkan apa yang didapatkan oleh Terry Guo, para pekerja ini tidak mendapatkan apa-apa. (*)

*Tulisan ini dimuat ulang dari situs Lausan.hk untuk tujuan pendidikan.
*Catatan:

  1. Catatan penerjemah, naskah berbahasa Inggris berbunyi “… and had to spend a couple hundred yuan to do so.” Untuk menyesuaikan dengan konteks pembaca Indonesia, “beberapa ratus Yuan” diinterpretasi menjadi beberapa ratus ribu hingga jutaan rupiah dengan asumsi 100 Yuan setara dengan sekitar Rp. 220 ribu, atau 500 Yuan setara dengan Rp. 1,1 juta.
  2. Nilai tukar yang digunakan adalah per 21 Oktober 2020. Sementara yang dirujuk dalam naskah adalah nominal yang berlaku pada tahun 2005. Singkatnya, penyesuaian konteks nominal 690 Yuan tidak sepenuhnya akurat, namun cukup untuk memberikan gambaran.
  3. Catatan penerjemah, dalam konteks Indonesia, istilah pekerja pelajar ini lebih dekat dengan pekerja magang)

*Disarikan kembali dari situs majalahsedane.org

- Advertisement -spot_imgspot_img
Must Read
Terbaru
- Advertisement -spot_imgspot_img
Baca Juga :